Langsung ke konten utama

FILSAFAT ISLAM

Oleh Harun Nasution

Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam ada pula  soal  jiwa  manusia  yang  dalam  falsafat Islam disebut al-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini  adalah  pemikiran yang  diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:

 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
 2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
     i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
    ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
    iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
    iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
     v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.
 3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
     a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
     b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam  materi,  sedang akal  teoritis  kepada  alam  metafisik.  Dalam  diri  manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang  terpenting
diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak  meneruskan arti-arti,  yang  diterimanya  dari indra pengingat dalam jiwa
binatang, ke akal teoritis.  Tetapi  kalau  ia  teruskan  akal teoritis akan berkembang dengan baik.

Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
 1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.

 2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
   
 3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak   menangkap arti-arti murni.
   
 4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya  menangkap arti-arti murni.

Akal  tingkat  keempat  inilah  yang  tertinggi  dan  dimiliki filsuf-filsuf.  Akal  inilah  yang  dapat  menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.

Sifat seseorang banyak bergantung pada  jiwa  mana  dari  tiga yang  tersebut  di  atas  berpengaruh  pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat
menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan  dalam hal  ini  akal  praktis  mempunyai  malaikat. Akal inilah yang
mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya  tidak  menjadi  halangan  bagi  akal  praktis  untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.

Setelah tubuh  manusia  mati,  yang  akan  tinggal  menghadapi perhitungan   di   depan   Tuhan  adalah  jiwa  manusia.  Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya
tubuh kembali menjadi tanah.

Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa  berhajat kepada  badan  manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di
atas,  yang  pada  mulanya  menolong  akal   untuk   menangkap arti-arti.  Makin  banyak  arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap  arti-arti  murni.  Kalau
akal  sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.

Jiwa  tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai  fungsi-fungsi  fisik  seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di  akhirat. Jiwa  manusia,  berlainan  dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak  berkaitan  dengan  yang  bersifat  fisik  tetapi   yang
bersifat  abstrak  dan  rohani.  Karena  itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia,  tetapi  di  akhirat.  Kalau  jiwa tumbuh  tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah
kekal. Jika ia telah mencapai  kesempurnaan  sebelum  berpisah dengan  badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum  sempurna  ia
akan mengalami kesengsaraan kelak.

Dari   paham   bahwa  jiwa  manusialah  yang  akan  menghadapi perhitungan  kelak  timbul  faham  tidak  adanya  pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali.

Demikianlah   beberapa  aspek  penting  dari  falsafat  Islam. Pemurnian konsep  tauhid  membawa  al-Kindi  kepada  pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis
(al-jins)  serta  diferensiasi  (al-fasl).   Sebagai   seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat.

Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada  falsafat  emanasi yang  di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. Karena Tuhan  dalam  filsafat  emanasi tak boleh berhubungan langsung
dengan yang banyak dan hanya  berfikir  tentang  diriNya  Yang Maha   Esa,  timbul  pendapat  bahwa  Tuhan  tidak  mengetahui juz'iat, yaitu  perincian  yang  ada  dalam  alam  ini.  Tuhan
mengetahui  hanya  yang  bersifat universal. Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I,  II dan  seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususan
yang terjadi di alam ini.  Karena  inti  manusia  adalah  jiwa berfikir  untuk  memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung  dalam  bidang sains  para  filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam.

Inilah  sepuluh  dari   duapuluh   kritikan   yang   dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam. Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa  mereka
kepada kekufuran, yaitu:

    1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman
   
    2. Pembangkitan jasmani tak ada
   
    3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.

Konsep alam qadim  membawa  kepada  kekufuran  dalam  pendapat al-Ghazali  karena  qadim  dalam filsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan  dalam  zaman  yaitu  tidak
pernah  tidak  ada  di  zaman  lampau.  Dan  ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka  syahadat dalam  teologi  Islam  adalah:  la qadima, illallah, tidak ada
yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim,  maka  alam  adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada paham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut
tak dapat diampuni Tuhan.

Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme.  Politeisme  dan ateisme  jelas  bertentangan  sekali dengan ajaran dasar Islam
tauhid  yang  sebagaimana  dilihat   di   atas   para   filsuf mengusahakan  Islam  memberikan  arti semurni-murninya. Inilah yang mendorong  al-Ghazali  untuk  mencap  kafir  filsuf  yang
percaya bahwa alam ini qadim.

Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks   ayat-ayat   dalam   al-Qur'an   menggambarkan    adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin
"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh  ini?.

Katakanlah:   Yang  menghidupkan  adalah  Yang  Menciptakannya pertama  kali."  Maka  pengkafiran  di  sini   berdasar   atas berlawanannya   falsafat  tidak  adanya  pembangkitan  jasmani
dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan.

Pengkafiran tentang masalah  ketiga,  Tuhan  tidak  mengetahui perincian  yang  ada  di  alam  juga  didasarkan  atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan  teks  ayat  dalam  al-Qur'an.
Sebagai  umpama  dapat  disebut  ayat  59 dari surat al-An'am:

Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya.

Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur   dengan   Baghdad   sebagai  pusat  pemikiran  menjauhi falsafat.  Apalagi  di  samping  pengkafiran  itu   al-Ghazali mengeluarkan  pendapat  bahwa  jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah  filsafat  tetapi  tasawuf.  Dalam  pada  itu sebelum  zaman  al-Ghazali  telah  muncul  teologi  baru  yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh  al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh  sebab-sebab  yang  belum  begitu jelas   ia  meninggalkan  paham  Mu'tazilahnya  dan  munculkan sebagai  lawan  dari  teologi  Mu'tazilah  teologi  baru  yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari.

Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak  tradisional.  Corak  tradisionalnya   dilihat   dari hal-hal

 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah     sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti     lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti     tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan  pemikiran ilmiah dan filosofis.
   
 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang  belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk  membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
   
 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum  alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan.

Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong  pada berkembangnya   pemikiran  ilmiah  dan  filosofis  sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi  tradisional  inilah  yang  berkembang  di dunia Islam bagian  Timur.  Tidak   mengherankan   kalau   sesudah   zaman al-Ghazali  ilmu  dan  falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah  dan  filsuf-filsuf Islam.


[1] http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/FilsafatIslam2.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi Kelas 9

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 akan penulis bagikan secara gratis. Pengunjung dapat langsung mendownload RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 dan RPP Selembar Kurikulum 2013 bagi kelas 9, pada link yang sudah disediakan di bagian bawah artikel ini. 

Ringkasan PAI SMP Kelas 9 Lengkap

Pada postingan ini akan dibagikan informasi mengenai materi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi kelas 9 SMP secara lengkap. Dari mulai bab pertama sampai dengan terakhir, sesuai dengan yang tercantum dalam buku paket siswa dan Kompetensi Dasar yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk menuju materi yang dimaksud, bisa langsung diklik dalam daftar isi berikut ini: Bab 1 Meyakini Hari Akhir, Mengakhiri Kebiasaan Buruk Bab 2 Jujur dan Menepati Janji Bab 3 Menuai Keberkahan dengan Rasa Hormat dan Taat kepada Orang Tua dan Guru Bab 4 Zakat Fitrah dan Zakat Mal Bab 5 Dahsyatnya Persatuan dalam Ibadah Haji dan Umrah Bab 6 Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara Bab 7 Meraih Kesuksesan dengan Optimis, Ikhtiar dan Tawakal Bab 8 Beriman kepada Qada' dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati Bab 9 Mengasah Pribadi yang Unggul dengan Tata Krama, Santun, dan Malu Bab 10 Menyayangi Binatang dalam Syariat Penyembelihan Bab 11 Akikah dan Kurban Menumbuhkan Kepedulian Umat  Bab 12 Menelusuri Tradisi...

Materi PAI SMP Kelas 9: Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara

1. Peta Konsep 2. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu: a. Menjelaskan tradisi  Nusantara sebelum Islam dengan benar. b. Menjelaskan Akulturasi budaya Islam dengan benar. c. Menjelaskan cara melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan benar. d. Mengambil hikmah mempelajari tradisi Islam Nusantara dengan benar. e. Berperilaku melestarikan tradisi Islam Nusantara dalam kehidupan seharihari dengan benar.