Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Fiksi

PIKUN

JEEP itu terus melaju. Larut dalam antrian kendaraan yang menyemut. Asep membanting mobilnya belok ke kiri, menghindari keramaian, menuju jalan yang lebih sempit. Di pinggir jalan, berjejer pohon-pohon hijau, bak pasukan paskibraka yang berbaris rapi di lapangan upacara.  Asep sangat merindukan tempat ini. Sudah lima belas tahun, dia tak bersua dengan pemandangan yang menemani masa-masa kecil bersama ibunya. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Hanya tinggal ibunya, satu-satunya keluarga yang masih hidup. Sepeninggal ayahnya, Asep tinggal bersama ibunya di gubuk kecil, pojok desa jauh dari keramaian kota. Dan, inilah tujuan yang selalu dipikirkannya dari pagi dan siang melarut menjadi malam.

Meninjau Ulang "Sekolah"

Pendidikan senantiasa menarik untuk dibahas. Ia selalu mengundang perhatian berbagai kalangan. Baik yang secara langsung berkecimpung di dalamnya, maupun yang sering memposisikan diri sebagai pengamat. Segudang persoalan yang muncul di dalamnya, sering dikatakan orang tidak pernah selesai. Sayangnya, kebanyakan orang lebih senang untuk saling menyalahkan daripada ikut ambil bagian mencari penyelesaian. Sebagai bagian penting dari sitem pendidikan kita, sekolah memiliki posisinya tersendiri. Kita sering terlena dengan mimpi-mimpi ideal yang dijanjikan olehnya. Tentang masa depan kita dan anak-anak kita, tentang pengembangan diri, dan segudang harapan lainnya yang sengaja kita percayakan pada lembaga bernama sekolah. Padahal, sekolah menyimpan sejuta persoalan yang sebenarnya layak kita perhatikan. Kita sepakat bahwa ilmu pengetahuan itu penting, namun benarkah hanya dapat diperoleh dari sekolah?

Terjebak

“Inilah, aku terjebak antara apa yang akan kulakukan, dengan budaya busuk yang telah menggurita...”   Warga menyebutnya Kantor Kepala Desa. Berdiri di tengah hamparan ilalang yang menguning, di bawah perlindungan rindangnya beringin tua. Keberadaannya yang jauh dari sumber air, membuat bangunan ini tak bertoilet. Jangankan fasilitas kantor yang mewah, jendela saja hampir tak punya. Dulu, ada empat jendela, namun sang waktu memangsanya dengan ganas. Jendela itu lapuk, hingga diganti dengan papan seadanya.

BBM Naik Lagi

Seperti biasa. Pagi itu, jalan dipenuhi banyak orang. Ada yang berangkat kerja, sekedar mengantar anak sekolah, atau bahkan hanya jalan-jalan. Adapula yang sengaja berjejer, menunggu angkot lewat di persimpangan jalan. Sesekali terdengar pekikan klakson serta desisan kenalpot menghiasi pusat kota pagi itu. Kendaraan-kendaraan melaju kencang dan sesekali berhenti serentak, dikagetkan rem dadakan angkutan kota.    “Ke kota, Neng?” teriakan sopir angkot ikut berdering.    “Iya Pak,” jawab gadis berseragam putih abu-abu.    “Ayo naik, Neng!” ajak pak sopir bersahabat.   Meski sudah beruban dan berkulit lusuh, lelaki itu masih kelihatan gagah dengan jaket kulitnya. Tidak seperti sopir pada umumnya, lelaki tua itu begitu ramah. Mobilnya menyapa jalan dengan lembut, memberi salam pada setiap penumpang, dan memberi harapan pada karyawan-karyawan pabrik yang tak berkendara. Mang Eman. Begitulah sapaan akrabnya dari penumpang.

Ujang Mending tidak Sekolah

Dengan sedikit terseok, Ia kembali melanjutkan perjalanan. Meski pemuda dengan perawakan agak kurus itu, sudah dilumuri dengan keringat, dan wajahnya agak pucat-pasi. Sepertinya, ia sudah beberapa jam tidak sempat menenggak air atau menelan penunda lapar.  Ia mengenakan kemeja biru tua, celana kantor warna hitam, dengan jaket lusuh di pundaknya. Kakinya kelihatan lesu, hilang semangat untuk melangkah. Mungkin, karena sudah terlalu banyak diayun. Atau, malu karena sepatu hitamnya agak kecoklat-coklatan tidak disemir, seperti sepatu para pejabat.   Ujang, begitulah orang memanggilnya. Pria setengah baya itu sudah berputar-putar mengelilingi ruwetnya Kota Singaparna. Ya, bagi Ujang, saat itu Singaparna adalah kota serba ada. Terlalu banyak mobil mewah yang menggoda khayalannya, motor keren yang mengusik ingatannya, toko baju dengan tawaran model-model terbaru yang memperburuk suasana hatinya. Belum lagi, jika Ia ingat pada rintihan perutnya yang belum sempat dijejali ma...