Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Ruang Hati

PIKUN

JEEP itu terus melaju. Larut dalam antrian kendaraan yang menyemut. Asep membanting mobilnya belok ke kiri, menghindari keramaian, menuju jalan yang lebih sempit. Di pinggir jalan, berjejer pohon-pohon hijau, bak pasukan paskibraka yang berbaris rapi di lapangan upacara.  Asep sangat merindukan tempat ini. Sudah lima belas tahun, dia tak bersua dengan pemandangan yang menemani masa-masa kecil bersama ibunya. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Hanya tinggal ibunya, satu-satunya keluarga yang masih hidup. Sepeninggal ayahnya, Asep tinggal bersama ibunya di gubuk kecil, pojok desa jauh dari keramaian kota. Dan, inilah tujuan yang selalu dipikirkannya dari pagi dan siang melarut menjadi malam.

Doa Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda selalu diperingati setiap tanggal 28 Oktober. Dalam peringatan tersebut, selalu ada petugas pembaca doa. Berikut contoh doa Sumpah Pemuda yang dibaca dalam peringatan Sumpah Pemuda.

Mewujudkan Mimpi Pangandaran*

  "Hatiku tertambat di Pangandaran." Demikian kalimat yang meluncur dari seorang wisatawan, saat ditanya mengapa sering berkunjung ke sana. Ungkapan ini seolah mewakili perasaan penulis, yang sedang jatuh cinta pada Pangandaran. Berbicara Pangandaran, tentu bukan hanya tentang Pantai Timur yang indah, Pantai Barat yang memikat, Batu Hiu yang mengundang rindu, Citumang yang menghadirkan rasa tenang, atau Green Canyon yang mampu mengikis penat. Ia bukan hanya sebatas kawasan wisata, yang menjadi candu bagi komunitas manusia modern. Sebagai sebuah kabupaten yang masih baru, Pangandaran telah menjelma menjadi rumah bersama yang siap menghadirkan beragam mimpi, mewujudkan berjuta harapan, merawat beribu kepentingan yang sebelumnya “terabaikan”.

Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia

Banyak orang mulai meragukan sekolah. Posisinya yang diberi mandat penting, untuk melahirkan manusia paripurna, dipertanyakan ulang. Kebiasaan mayoritas masyarakat yang mempertaruhkan nasib generasi penerusnya melalui lembaga ini, patut dipikirkan ulang. Demikian, kesan yang saya rasakan saat membaca bagian awal buku “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” yang ditulis oleh Pak Haidar Bagir ini. Kesan ini semakin menguat, tatkala penulis buku mengungkapkan beberapa kesalahan mendasar yang selama ini terus berjalan di dalam sekolah. Baik kesalahan konseptual, maupun praktikal. Mulai dari kerancuan tentang tujuan pendidikan, kesalahpahaman atas hakikat manusia sebagai subjek pendidikan, kekaburan tentang hakikat proses belajar, kemiskinan metode belajar mengajar, kekeliruan dalam penilaian dan berbagai hal lain yang disinyalir penulis sebagai kesalahan.

Belajar dari Pak Habibie

Indonesia berkabung. Salah satu putera terbaiknya telah tiada, dipanggil kembali oleh Sang Pencipta. Ya, Pak Habibie, Presiden Indonesia ke-3 itu telah meninggalkan kita. Media massa membicarakan beliau. Percakapan publik dalam media sosial diwarnai nama beliau. Do’a-do’a dan ungkapan bela sungkawa mengalir deras.

Tiga Tahun Membangun Cinta

Usia tiga tahun masih sangat tergolong muda. Sedang belajar melangkah. Sesekali terseok, bahkan terjatuh. Lalu berusaha bangkit dengan tertatih, sembari mencari pegangan. Begitulah usia pernikahan kita. Baru tiga tahun, tak lebih.

Belajar dari Pak Sutopo

Kematian Pak Sutopo menyita perhatian publik. Viral di media sosial, jadi headline di media mainstream. Banyak yang merasa kehilangan. Ungkapan bela sungkawa dan do’a mengalir deras. Posisinya sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas (Pusdatinmas) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), membuat sosok Pak Topo sering berhubungan dengan media dan masyarakat. Ia menjadi tokoh paling depan dalam memberikan informasi kebencanaan kepada masyarakat.  Hal lain yang membuat Pak Topo hadir menjadi pusat perhatian, adalah kondisinya yang mengidap kanker tetapi dedikasinya dalam bertugas tak pudar. Dengan kondisi kesehatan yang terus memburuk, ia terlihat tetap tegar dan sigap melaksanakan pengabdian.

Menjadi Guru Zaman Now

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Demikian kata pepatah. Bahkan, ada yang memodifikasinya menjadi seperti ini, “Guru kencing berdiri, murid mengencingi guru”. Ungkapan ini menggambarkan kepercayaan masyarakat kita, yang memberikan posisi sangat penting terhadap seorang guru dalam “membentuk” muridnya. Masyarakat kita percaya, bahwa jika gurunya baik, maka murid akan lebih mudah menjadi baik. Sebaliknya, jika gurunya buruk, maka murid akan lebih buruk dari gurunya.

Catatan Menjelang Reuni Pesantren

Boleh jadi, hari ini kita telah lupa. Bahwa dulu, kita pernah diajari ustadz huruf alif, ba dan ta, yang hari ini kita gunakan untuk mengeja alif ba ta kehidupan. Kumpulan bab dalam Jurumiyah, fasal-fasal dalam Safinah, serta bait-bait beberapa kitab kuning yang sempat kita akrabi, merupakan sebagian jejak yang tak mungkin kita hapus dari rangkaian perjalanan hidup ini. Jalan apapun yang sedang kita telusuri hari ini, tak bisa mengubah status kita, bahwa kita adalah santri.

Lulus CPNS Murni, Bukan Hal yang Mustahil

  “Alhamdulillah, saya lulus, Yah…”. Demikian pesan istri melalui WA.    Saya terperanjat. Setengah tidak percaya, bahwa ia lulus CPNS. Soalnya, dari hasil pelaksanaan ujian, nilainya kurang memuaskan. Bahkan, sesaat setelah menyelesaikan seleksi tahap akhir, istri saya sudah kehilangan harapan. Ia keluar ruangan dengan letih. Wajahnya lesu. Nilai yang direncanakan akan tinggi, ternyata terjun bebas.

Selamat Ulang Tahun, Istriku...

Istriku, sisa jatah usia kita, terus berkurang. Kita diberi pilihan untuk memanfaatkannya dengan ragam hal. Bisa buruk, bisa baik. Bisa benar, bisa salah. Yang jelas, semuanya akan kita pertanggungjawabkan.

Akhir Pekan

Akhir pekan di tanggal tua, biasa digunakan banyak orang untuk berlatih mengencangkan ikat pinggang. Konon, periode ini melahirkan banyak keluhan. Tapi tidak bagi kita. Akhir pekan, tetaplah menyenangkan. Satu dari sekian banyak anugerah Tuhan, yang bisa melahirkan "surga".

Lepas

Air mata sangat sulit dibendung, saat Mamah dan Bapak "melepasku", untuk melaksanakan salah satu titah Tuhan: membangun rumah tangga. Kesedihan kian menjadi, saat do'a-do'a dan amanat mereka terucap dengan terbata diselingi isak tangis. Ketulusan begitu terasa, menjadi nafas dari setiap do'a dan pengharapan yang mereka lantunkan untuk putra satu-satunya ini.

"Menjadi" Guru

Masalahnya, saya terlahir ke dunia ini dalam keadaan belum tahu apa pun, belum bisa apa pun, dan belum mengerti apa pun. Namun, justru karena itulah saya dianggap sebagai manusia normal, lalu diterima dengan baik oleh keluarga dan orang sekitar. Setelah berproses dan bernafas kurang lebih selama 25 tahun, barulah saya mulai mampu memahami, melakukan, dan menjiwai beberapa hal dalam kehidupan. Meski dengan terbata, saya mulai mampu mengeja alif-ba-ta perjalanan hidup, yang menyenangkan sekaligus mengerikan ini.

Ayahku, Pahlawanku

Ayah, aku tahu, engkau tak semahir Ibu dalam menerjemahkan kasihmu. Aku juga tahu, engkau bukanlah sosok manusia yang maha segalanya. Tapi, seiring usiaku yang terus menua, aku semakin mengerti betapa istimewanya kehadiranmu, bagiku. Aku sadar, betapa berat beban yang kau emban. Tapi kau selalu hadir dengan gagah, di setiap lekuk perjalanan hidupku. Mungkin, aku tak akan pernah bisa berjalan sejauh ini, jika tetesan-tetesan keringatmu tidak diperas, untukku.

Ketika Kita Bersaudara

Saat melancong ke Pantai Pangandaran beberapa hari lalu, saya menghampiri seorang pedagang kue pukis. Bercakap beberapa saat, lalu membeli kue yang ia jajakan. Sebelum beranjak, saya berusaha mengakrabkan diri pada sang pedagang, dengan melemparkan beberapa topik percakapan. Namun sayang, ia seolah tidak menikmati obrolan kami. H anya menjawab pertanyaan seperlunya, tanpa sedikitpun menyunggingkan senyum. Heran. Bibirnya tiba-tiba merekah, setelah saya menyebutkan kota asal: Tasikmalaya. Bahkan, setelah puas ngobrol ini itu, ia menghadiahi sebungkus kue gratis sambil berujar penuh keramahan, “Ieu canak, Jang. Hatur lumayan. Ari penak sareng nu sami ti Tasik teh, sok asa tenang sareng bingah, asa aya baraya amang mah.” (Nih ambil, Jang. Lumayan. Kalau bertemu dengan sesama orang Tasik, saya suka tenang dan bahagia, seperti ada saudara.)

Tentang Kema(mp)uan Mendengar

Gambar dari sini Tulisan ini hadir, dilatarbelakangi oleh sebuah diskusi dengan beberapa sahabat penulis, terkait maraknya status pengguna media sosial yang menyiratkan kekecewaan, kritikan bahkan umpatan terhadap kinerja pemerintah atapun wakil rakyat, baik di pusat maupun di daerah. Beberapa sahabat penulis sempat mengungkapkan, bahwa hal tersebut seakan tidak bermakna. Karena pesan yang disampaikan seolah tidak sampai pada pihak yang dikritisi. Ribuan kritikan dalam status bergentayangan, sementara yang dikritik melenggang berlaga tuli.

Selamat Tinggal 2013: Refleksi Atas Berakhirnya Waktu

Gambar dari sini DISADARI atau tidak, waktu terus berjalan melampaui apa pun. Siapa yang lalai, tentu saja akan ditinggalkan. Karena baginya, tidak pernah mengenal istilah menunggu. Lebih dari itu, waktu hanya akan muncul sekali dan tidak akan pernah kembali lagi. Ali bin Abi Thalib r.a. pernah mengingatkan, bahwa rezeki yang tidak diperoleh hari ini, masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.

Belum Titik

Gambar dari sini Konon, manusia diciptakan dengan sifat khususnya: pelupa. Sifat yang sering sengaja dihadirkan untuk membela diri ketika terpojok. Celakanya, hal apapun bisa saja mereka lupakan. Termasuk Tuhan. Ia seolah hanya “dihadirkan” dalam saat dan atau kondisi tertentu. Sedangkan dalam banyak kondisi, Tuhan sering “dilupakan” begitu saja. Entah lupa yang disengaja atau karena sifat bawaan tadi. Atau jangan-jangan, karena Tuhan sudah disetarakan dengan hal-hal yang ketinggalan zaman, kadaluarsa, kampungan, kolot, dan dikalahkan dengan barang modern. Sehingga melupakannya adalah perilaku biasa saja. Melalui bukunya yang berjudul “Tuhan yang Kesepian”,   Tasirun Sulaiman mengajak kita untuk kembali mengingat dan mempertanyakan segala sesuatu yang sudah kita anggap final; kita anggap sudah biasa. Sikap kita pada Tuhan, keimanan, agama, hidup, hubungan dengan sesama, dan banyak hal yang sudah kita anggap selesai, kembali diangkat, dipertanyakan, dan dikaji lebih dalam....

Orang Tua dan Tawuran Pelajar

  Pelajar berulah lagi. Kalimat ini, setidaknya cukup mewakili berbagai pemberitaan mengenai tawuran pelajar, yang muncul kembali menghiasai media masa. Seperti yang dimuat sebuah surat kabar lokal di Priangan Timur edisi 5 Oktober 2013, mengenai tawuran beberapa siswa SMA di Garut. Celakanya lagi, kejadian ini dilakukan ketika warga melaksanakan shalat Jum’at. Memang, kasus tawuran pelajar menjadi salah satu persoalan yang sering menjadi bahan perbincangan. Persoalan yang sudah lama dihadapi insan pendidikan bangsa ini, hampir bisa dipastikan belum dapat diselesaikan.