Oleh Muhammad Al-Fayyadl
• Saya sedang dalam proses ‘distansiasi’ (penjarakan) dengan filsafat. Saya mulai mencoba untuk berfilsafat tidak dari buku atau literatur, tetapi dari ‘naluri/insting’ berpikir sebagai manusia yang berpikir (a thinking being). Saya ingin merasakan ‘kehidupan pikiran’ (the life of mind—meminjam istilah Arendt) mekar dalam diri saya. Karena itu, apa yang tertoreh di sini adalah sedikit upaya untuk berpikir kembali tentang satu hal secara filosofis, tanpa berangkat dari pemikiran teoretis yang ketat, melainkan dari intuisi yang bebas.
• Karena filsafat, menurut saya, adalah pertanyaan, maka—dalam kaitannya dengan tema yang sedang kita bahas sekarang ini—saya ingin kita mendiskusikan beberapa pertanyaan pokok ini:
1- Pertanyaan pertama: Mengapa kita berbicara tentang kematian? Apa alasan epistemologis kita harus berbicara tentang kematian? Juga, apa relevansi eksistensialnya bagi kita?
Atas pertanyaan-pertanyaan ini, mungkin kita akan mengajukan jawaban berikut:
a. Karena ‘kematian’ adalah tema yang relatif jarang diangkat dan dikaji secara filosofis. Dalam setiap ranah pemikiran, gagasan terbagi ke dalam tiga wilayah: ‘yang terpikirkan’ (the thought), ‘yang tak terpikirkan’ (the unthought), ‘yang tak boleh dipikirkan’ (the unthinkable). Tema ‘kematian’ barangkali termasuk dalam wilayah ‘yang tak terpikirkan’, sehingga tugas kita menjadikannya sesuatu yang ‘terpikirkan’. Hal ini terungkap dari fakta bahwa tema kematian, walaupun sudah dikaji sejak ribuan abad lampau oleh Epicurus dan para pemikir Stoa, baru mendapat perhatian serius secara sistematis pada era Eksistensialisme modern (via Heidegger, Sartre, Jaspers, dan lain-lain).
b. Karena ‘kematian’ sering kali dimaknai secara dangkal—dan ini yang terpenting. Kematian bukan lagi sesuatu yang menggetarkan hati dan pikiran manusia. Karena pengaruh teknologi media mutakhir, kematian tercerabut dari konteksnya sebagai pengalaman manusiawi yang unik dan khas, dan menjadi sekadar data. Pendek kata, kematian menjadi fakta; ia menjadi faktualitas, tetapi kehilangan maknanya sebagai faktisitas, pengalaman manusiawi yang human dan ‘riil’.1
2- Setelah sedikit mengerti alasan kenapa kita bicara tentang kematian, pertanyaan kedua adalah: Mungkinkah kita bicara tentang kematian? Di sini ada dua aporia (keganjilan, paradoks) menggetarkan yang harus kita hadapi:
a. Kita, dalam hal ini, membicarakan kematian secara a priori. Aporia paling muskil adalah fakta bahwa kini kita bicara tentang kematian, padahal kita belum mengalaminya. Bagaimana kita bicara ihwal kematian, sementara kita belum mengalaminya? Bagaimana kita bicara kematian secara a priori, jika secara a posteriori kita belum mengetahuinya? (Aporia I)
b. (Aporia II): Kita adalah makhluk ‘mengada’, dan sedang dalam proses mengada dan meng-ada. Sementara ‘kematian’ adalah ‘meniada’, atau bahkan mungkin ‘ketiadaan’ itu sendiri, sehingga bagaimana kita bicara tentang ‘ketiadaan’ dalam ‘kemengadaan’ kita?
3- Mungkin, membicarakan kematian—mewacanakannya dalam batas-batas pemikiran yang diskursif—tidak sepenuhnya mungkin. Namun, setidaknya filsafat bisa mendekatkan kita pada kemungkinan itu.
Pertanyaan selanjutnya, metode filosofis apa yang paling dekat pada kemungkinan untuk memikirkan kematian?
Ada beragam perspektif, tapi jika saya boleh memilih, metode yang paling dekat pada kemungkinan (dan sekaligus ketidakmungkinan) untuk memikirkan kematian dan menghayatinya adalah dengan ‘filsafat eksistensial’ (Existenzphilosophie, yang dalam beberapa literatur disebut juga Lebenphilosophie, ‘filsafat hayat’, ‘filsafat-kehidupan’)-yang berangkat dari ontologi.
Filsafat eksistensial, seperti diketahui, muncul karena kegelisahan para filsuf melihat dominasi struktural ilmu-ilmu alam terhadap pengalaman manusia. Dominasi sains dan biologi dalam membicarakan persoalan-persoalan kematian sangatlah kuat mewarnai kehidupan modern secara umum. Karena itu, sebagai akibatnya pengalaman-pengalaman manusiawi yang terkait dengan ‘kehidupan’ sering kali menderita reduksi yang tidak sepatutnya akibat dominasi paradigma saintifik tersebut. Inilah yang oleh Husserl ditengarai sebagai ‘krisis pengetahuan’ dalam kesadaran modern.
Krisis itu coba dipulihkan kembali (direstorasi) oleh filsafat eksistensial. Mode filosofis yang dikemukakan oleh filsafat eksistensial ingin melihat pengalaman-pengalaman hayati yang unik seperti ‘kehidupan’ dan ‘kematian’ sebagai pengalaman yang tak cukup didekati dengan ilmu, tapi perlu melibatkan pengalaman. Kuncinya adalah pada ‘penghayatan’, atau ‘intesionalitas’ yang terlibat (engaged) dalam objek yang diteliti. Ini adalah mode filsafat yang terlibat dalam realitas, yang tidak berjarak secara hermeneutis dari apa yang dibacanya, tetapi menghanyutkan diri dalam realitas yang dia baca untuk mendapatkan intisari dari pengalaman-pengalaman manusiawi tersebut. Hal ini tidak kita peroleh dari pengetahuan saintifik-medis yang mungkin melihat ‘kehidupan’ dan ‘kematian’ seseorang dari sisi biologis-fisikalnya saja.
Wacana mengenai ‘kematian’ akan sangat menarik bila mengontraskan berbagai paradigma yang bertentangan. Tak ada paradoks yang paling membuat dahi berkernyit dan perasaan kita bergetar hebat selain fakta bahwa kita semua akan mati, tetapi kita tidak tahu bagaimana kita akan mati. Kematian barangkali adalah misteri—dan filsafat mungkin adalah secercah lilin yang bisa menerangi kegelapan misteri itu.***
________________________________________
* Disampaikan sebagai bahan diskusi rutin PK PMII IAIC-Cipasung
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus