Pengantar
Feminisme berawal dari kata feminis yang merupakan sifat dasar yang melekat pada diri seorang wanita. Kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan, yang diawali oleh sebuah kelompok study ilmiah, yang dipimpin oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet meskipun masih dalam taraf diskursus ringan mengenai peran pendidikan bagi perempuan. Sementara, kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women pada 1869. Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama (Wikipedia Indonesia 27/06/07).Dikemudian hari mulai terjadi peningkatan orientasi dan kuantitas yang semakin menunjukan kejelasan arah gerakan ini menuju pada fase pemikiran yang lebih komprehensif.Menuju kepada kejelasan konsepsi paradigma yang menunjukan orientasi menuju keadilan dan kesetaraan disegala bidang. Melalui pendidikan yang kelak merupakan jembatan menuju misi mereka.
Indonesia merupakan negara yang sangat plural,ketika disatu sisi Indonesia memiliki hukum yang merupakan landasan aturan bernegara,serta konstitusi yang juga berperan penting dalam memberikan arahan secara substansif mengenai bentuk negara kesatuan Indonesia.Kaum intelektual,merupakan aset negara yang sangat diperlukan dalam rangka menuju perbaikan dan perubahan. Pergerakan kaum muda memang sangat berdampak cukup luar biasa disaat masa reformasi mulai dihembuskan ke permukaan,terutama ketika misi bersama mulai menemui posisi dan timing yang tepat. Masa peralihan kekuasaan rezim Soeharto yang merupakan orde terlama selama 3 dekade pemerintahan,harus dijatuhkan oleh ribuan bahkan jutaan masyarakatnya sendiri yang sudah bosan dengan celotehnya,yang kemudian secara aturan main konstitusi sementara beralih ketangan sang wakil,yang ketika itu diangku oleh seorang teknokrat ulung.B.J Habibie. Disaat itu,mulai muncul sebuah masa pencerahan bagi para kaum muda untuk meluapkan segala unek-uneknya terutama mengenai kondisi Indonesia yang diharapkan mampu mengejar ketertinggalannya,dikancah Internasional. Maka mulai santerlah isu-isu hangat yang berani dikampanyekan kembali,seperti penegakan syariat Islam, pengusutan pelanggaraan HAM selama orde baru beserta kasus-kasus lainnya,dan mulai masuknya pemahaman/isme yang diawali pola pendidikan barat yang notabenenya merupakan ‘makanan’ para intelektual muda Indonesia masa itu.
Feminisme merupakan sebuah arus pemikiran yang muncul diawal dekade 1900 yang kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan massal yang sangat berpengaruh. Khusus Indonesia mengalami sebuah peningkatan dikala kuota perempuan dalam keanggotaan Dewan sendiri mengalami kejelasan kuantitatif secara konstitusi yakni 30%. Kejelasan posisi dan peran feminis Indonesia patut ditelaah secara mendalam dan konprehensif,disaat masa reformasi merupakan jalur yang subur merebaknya pemahaman ini. Maka itu,penulis merasa perlu untuk mengangkat tema ini menjadi sebuah bahan diskursus serta telaah secara sistematis mengenai arus feminisme dan perpolitikan di Indonesia pasca reformasi.
Disaat kaum hawa menuntut adanya posisi yang jelas serta peran yang secara efektif mampu memperjuangkan hak-hak mereka terutama di kancah politik praktis,yang harapannya mampu merambah ke ranah sosial,ekonomi,dan kehidupan mereka.Misi yang merupakan,substansi pokok lahirnya feminisme global yakni keadilan dan kesetaraan perempuan disegala aspek kehidupan,yang kemudian akan berimbas pada posisi mereka sebagai warga negara, ibu rumah tangga, maupun seorang akademisi/politikus.
Pembahasan
Dimulai dengan sejarah yang mencoba menjadi sebuah renungan serta bahan dalam meneliti sepak terjang pergerakan perempuan di Indonesia awal tahun 1950-an,yang ketika itu Soekarno dengan otoritasnya menjadi semacam ‘bapak’ bagi kemunculan beberapa organisasi perempuan Indonesia.Diilhami oleh suatu perjuangan panjang R.A Kartini melalui jalur pendidikan yang kemudian merambah pada bidang politik. Gerwis memang tidak sepopuler Gerwani yang merupakan nama kedua atas organisasi pergerakan perempuan di Indonesia yang mencoba memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia pasca kemerdekaan, mencoba menjadi sarana berkumpul, berdiskusi, serta turut dalam perjuangan-perjuangan politik negara ini. Gerwis yang setelah Kongres-I-nya telah resmi merubah diri menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) ini, sangat kental dengan pengaruh sosialis-komunis Lenin, dan sempat diberitakan bahwa Gerwani menjadi ‘sayap’ perjuangan PKI, dibidang kewanitaan.
Namun,sejarah Indonesia yang penuh dengan intrik dan penyelewengan fakta, data, dan realita,telah berhasil menjatuhkan dan mengubur selamanya organisasi tersebut,terutama pada 1 Oktober 1965 disaat Soeharto berhasil naik tahta,dan mulai mengkampanyekan sesat atas organisasi tersebut. Padahal dari sanalah sebenarnya perjuangan perempuan Indonesia dibidang politik mulai berkibar sangat besar,secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan politik pertama bagi perempuan Indonesia sudah mulai dirintis dan berkembang cukup pesat pada gerakan ini.
Kemudian muncul pada dekade ’70-an beberapa organisasi perempuan yang dibentuk oleh negara melalui ‘alat’ kekuasaannnya. Dharma Wanita (bagi masy.sipil) dan Dharma Pertiwi (bagi pejabat militer) sebenarnya merupakan organisasi perempuan yang hanya terkonsentrasi terkait permasalahan sosial,yang kemudian menyusul Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang urusannya tak lain hanya berfungsi untuk memperkecil tingkat kelahiran,dengan program utamanya yakni Keluarga Berencana. keseluruhannya itu nyaris tidak mampu menjadi sarana aktualisasi politik,seolah seluruhnya merupakan organ-organ yang bekerja sesuai kehendak tuannya,yakni negara.
Menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia (Centre for Electrocal Reform.30/06/07)
Tanggal 12 Februari 2003 bisa jadi merupakan salah satu tonggak bersejarah bagi perkembangan feminisme di Indonesia,terutama bagi para politikus perempuan yang sudah sejak jauh-jauh hari senantiasa memperjuangkan kejelasan posisi dan peran mereka diranah politik praktis. Saat itu, Sidang Paripurna DPR berhasil mengesahkan RUU Pemilu terkait kuota 30% bagi perempuan dalam Dewan Perwakilan tingkat II hingga pada tingkat pusat. Hampir seluruh fraksi setuju atas hal itu,kecuali Fraksi Bulan Bintang dan Pemerintah (al-Wa’ie,1-30/04/2003).
Beberapa pengamat menganggap itu merupakan proses keberhasilan demokratisasi di Indonesia,dalam hal ini ketika politik perempuan mampu keluar dan melangkah secara bebas diruang publik yang selama ini senantiasa didominasi oleh laki-laki,selain itu dengan adanya kejelasan posisi perempuan di dewan,harapannya mampu memberikan perubahan yang cukup signifikan atas eksistensi perempuan Indonesia masa depan. Sementara sebagian pengamat yang lain menilai bahwa pemberian kuota perempuan di dewan menjadi tidak substansif disaat proses pemilihan dewan ketika itu lebih mementingkan kuantitas atau gender daripada kualifikasinya.Sehingga akan muncul ketimpangan.
Menjadi ironi memang,disaat ratifikasi UU sudah dilakukan namun,masih cukup sulit perempuan terpenuhi haknya secara kuantitatif, kita lihat secara realita serta fakta yang ditemui bahwasanya hanya sekitar 8,9% keterwakilan perempuan dijalur legislatif dari 500 anggota legislatif saat ini,DPRD tingkat provinsi saja hanya 7%,sementara DPRD tingkat Kabupaten/kota sekitar 2%,bahkan terdapat beberapa kabupaten/kota yang tidak memiliki anggota legislatif perempuan.
Dalam sebuah workshop yang diselenggarakan oleh KPU Pusat pada 1 Februari 2007 yang lalu. Prof. Ramlan Surbaki menegaskan dalam sambutannya bahwa dalam peningkatan peran perempuan dalam lembaga politik baik eksekutif maupun legislatif menggunakan 2 cara yakni Pertama, melalui infrastrukturnya sendiri seperti tingkat pendidikan kaum perempuan, keterlibatan dalam organisasi ekonomi, sosial, kebudayaan, keagamaan dan kesadaran politik perempuan, dan kedua adalah melalui engineering sistem pemilu (kpu.go.id/Selasa 13 Februari 2007 14:31 WIB).
Politik perempuan Indonesia secara formal memang harus menggunakan sarana pemilu secara demokratis sebagai jalur resmi meraih kekuasaan lembaga-lembaga formal politik. Dalam prosesnya partai politik merupakan kendaraan yang sangat efektif dalam menuju puncak,selain infrastruktur lainnya yang bersifat sosial,pendidikan, maupun ekonomi. Kemunculan Hj.Ratu Atut Chosiyah sebagai kepala Pemerintah tingkat Provinsi pertama di Indonesia, yang sebelumnya didahului oleh Megawati Soekarno Putri sebagai pimpinan tertinggi NKRI yang menurut penulis sebagai puncak keberhasilan feminis dalam menambakan peran dan posisi perempuan ditingkat tertinggi birokrasi pemerintah.Namun yang menjadi pertanyaan terbesar saat ini ialah sejauh mana peranan mereka bagi eksistensi serta peran politik perempuan saat ini? Sejauh mana arah gerak perjuangan mereka yang sesuai dengan misi kaum feminisme Indonesia yang senantiasa mendambakan keadilan dan kesetaraan diberbagai bidang kehidupan. Tak ada lagi alienasi,bias gender maupun patriakisme politik yang selama ini menjadi momok bagi eksistensi perempuan secara global.
Perjuangan perempuan memang tidak akan pernah berakhir, selama diskriminasi, subordinasi, serta marginalisasi perempuan tidak lagi terjadi. Khusus di Indonesia, kebangkitan perjuangan politik perempuan Indonesia memang telah nampak pasca orde baru berkuasa,ditandai mulai tumbuh subur peran perempuan diranah politik praktis, namun yang sangat disayangkan seolah pekerjaan yang terpenting ialah bagaimana merebut kekuasaan dari tangan laki-laki ketimbang bagaimana setelah perempuan itu berkuasa. Apa yang akan dilakukannya setelah itu?
Selayaknya perjuangan perempuan Indonesia tidaklah hanya berkutat pada tataran yang bersifat parsial dan struktural,namun sudah saatnya mereka pun mulai merancang rencana strategis yang langsung menyentuh pada tataran substansif,seperti peran pendidikan sebagai sebuah langkah preventif dalam mencetak kader-kader perempuan Indonesia yang memahami akan hakekat perjuangannya. Saat ini tidaklah signifikan perjuangan politikus perempuan yang berhasil duduk dipuncak kekuasaan,entah karena sistem yang sudah mengakar atau karena mereka menjadi terlalu terlena dengan kekuasaan.
Menurut Lembaga Survei Indonesia yang tertuang didalam Kajian Bulanan edisi 1,Mei 2007 menggambarkan bahwa selama Desember 2006 yang lalu, dari 296 wilayah yang berhasil melakukan pemilihan umum hanya sekitar 20,6% atau 61 wilayah saja yang memiliki kandidat perempuan, selebihnya masih didominasi peran laki-laki.
Disana nampak posisi perempuan,ternyata masih sulit untuk bergerak. Itu pun umumnya mereka masih menggunakan kendaraan politik yang kurang memiliki dukungan massa bahkan tidak memiliki kursi sama sekali di DPRD. Disini terlihat masih cukup banyak kelemahan dalam mempengaruhi publik dalam menempatkan perempuan sebagai pemeran utama,atau bisa jadi kelemahan politik perempuan yang masih belum mampu mempengaruhi serta merangkul kaum laki-laki dalam mengusung ide keadilan dan kesetaraan gender.
Agenda politik perempuan 2009 mestilah kembali kepada sebuah proses awal dimana upaya untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan yang bebas dari diskriminasi, subordinasi, serta marginalisasi senantiasa menjadi agenda utama,senantiasa melangkah pasti, bukan stagnasi. Haruslah diyakini bahwa perjuangan dengan menggunakan UU sebagai senjata dan partai politik sebagai mesin penggerak bukanlah segalanya dalam mencapai tujuan besar,bahkan dikemudian hari malah akan menjatuhkan perjuangan politik perempuan, serta malah semakin menghancurkan pondasi perjuangan kaum feminisme di Indonesia. Peningkatan kualitas diri perempuan Indonesia merupakan langkah awal dalam mencapai tujuan bersama.Pendidikan politik merupakan suatu kebutuhan yang mendasar dalam memahamkan kesadaran perempuan Indonesia,akan gerak langkahnya didunia politik. Penulis sedang tidak mengatakan bahwa keberhasilan politik perempuan telah tercipta dengan munculnya UU Pemilu tahun 2003 atau dengan berhasilnya Megawati serta Ratu Atut menjadi pemimpin tertinggi sebuah lembaga eksekutif,melainkan itu hanya sebuah langkah awal perjuangan perempuan Indonesia untuk menggapai impian masa depan mereka.
Satu hal yang menjadi sebuah study kritis sebenarnya ialah masa depan perjuangan politik perempuan ditingkat lokal Indonesia sendiri,yang saat ini terkesan pragmatisme politik.Puncak kekuasaan dapat diraih,maka akan lebih mudah melangkah ke segala aspek kehidupan.Dan ketika itu tercipta,nyaris seperti kehilangan arah kontrol perjuangan,mereka yang sedang asyik menikmati panasnya kursi kekuasaan,acapkali lupa dengan identitas perjuangan kaum feminisme. Terkadang semua itu membuat diri mereka terlena,sehingga menimbulkan disorientasi publik serta keterputusan komunikasi dikemudian hari.
Selanjutnya dalam memperjuangkan posisi perempuan diranah publik,memang tidak terlepas oleh peran media massa. Budaya media (media culture), seperti dituturkan Douglas Kellner dalam bukunya ’Media Culture’: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern (1996), menunjuk pada suatu kondisi di mana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang (Wiwik Sushartami,Kompas 21/07/03).Perempuan bukan sebagai objek yang senantiasa dieksploitasi secara lahir,namun peran media disana ialah mencoba memblow-up seluruh potensi perempuan serta peran politik perempuan yang berusaha memperjuangkan hak-hak perempuan, baik melalui jalur politik praktis,sosial,ekonomi dan pendidikan. Peran media massa saat ini memang sangat dibutuhkan,sebagai public information maupun sebagai sarana sosialisasi. Disatu sisi dibutuhkn adanya porsi yang cukup diberikan kepada perempuan untuk mengekspos gerak dan potensi diri mereka.
Penutup
Di fase awal politik perempuan dalam dekade’70-an memang sudah mulai mengalami kebangkitan,dinilai dari gerak serta orientasi yang jelas organisasi Gerwani sebagai satu-satunya himpunan yang berhasil mengangkat politik perempuan Indonesia diranah internasional,meskipun terganjal kasus kedekatannya dengan PKI dan orde baru berhasil mempropagandakan kesesatan atas organisasi ini,namun tak dapat dipungkiri bahwasanya organisasi ini telah berhasil secara efektif menjadi sarana aktualisasi politik perempuan saat itu.
Kemunculan orde baru sebenarnya tidak lebih sekedar mengembalikan posisi perempuan menjadi ’alat’ rumah tangga semata yang dinilai menjadi kurang peka atas problematika politik di Indonesia,sehingga yang terjadi hanyalah kemandekan politik perempuan selama puluhan tahun lamanya.Meskipun pemerintah berhasil memberikan wadah aspiratif mereka dibidang sosial,seperti: Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, dan PKK. Politik perempuan mulai bangkit dari mati surinya disaat fase keruntuhan gerbang orde baru,ketika itu pahlawan perempuan mulai muncul kepermukaan seperti Gadis Arivia,yang sempat menjadi pimpinan aksi massa ibu-ibu,atas mahalnya harga susu saat itu.
Terangkatnya isu feminisme global sebagai ikon penting dalam perjuangan perempuan dimasa depan. Disaat itu tingkat pendidikan perempuan menjadi tolak ukur,dalam memulai sebuah perjuangan.Disisi lain memang,saat ini usaha ke bidang peningkatan mutu pendidikan perempuan Indonesia memang sedang berproses. Menurut data BPS 2002 menunjukkan 64,5% dari penduduk miskin dan berpendidikan rendah Indonesia, tidak tamat SD, dan tidak bersekolah sama sekali. 43,9% diantaranya buta huruf, dimana 79,6% nya adalah perempuan. Maka menjadi tugas berat kaum feminisme saat ini,dimana proses internalisasi nilai-nilai kejuangan harus pula disandingkan dengan tingkat pendidikan perempuan Indonesia yang memadai. Karena proses kebangkitan politik feminisme Indonesia nampak nyata disaat adanya perkembangan yang signifikan atas kualitas individual perempuan itu sendiri.Faktor fundament yang mempengaruhi, selain dikemudian hari media massa serta partai politik juga berperan penting dalam sarana aktualisasi dunia politik perempuan.
Adanya kebangkitan politik perempuan juga dinilai dari kejelasan legalitas hukum formal atas politik perempuan dibidang legislatif,eksekutif,maupun yudikatif serta beberapa UU yang sudah mulai menjadi payung atas arah gerak perempuan didunia politik. Reformasi politk diIndonesia menjadi ajang yang subur bagi tumbuhnya hasrat politk perempuan sebagai wujud tanggung jawab moral bagi eksistensi mereka serta hak-hak mereka yang selama ini terabaikan.
Fenomena semacam ini hendaklah dijadikan sebuah proses menuju kondisi masyarakat yang tidak lagi berjalan timpang,ketidakadilan,serta bias gender. Kemajuan dunia politk perempuan semestinya menjadi sebuah keharusan memang disaat kualifikasi antara perempuan dan laki-laki tidak hanya ditendukan dengan seksualitas maupun semata,namun disaat kualitas individu menjadi faktor utama dalam menempatkan seseorang dalam posisi tertentu.
Disisi lain,feminisme yang berkembang diIndonesia semenjak pasca kemerdekaan NKRI yang kemudian sempat mati suri diera orde baru lalu bangkit kembali diera runtuhnya rezim Soeharto hingga pada saat ini,yang muncul adalah tuntutan serta proses revitalisasi hukum formal,hingga pada tataran konstitusi mendasar negara ini.Tidaklah dijadikan justifikasi atas perombakan mendasar peran perempuan sesuai kodrat yang melekat pada diri mereka.Perempuan bukan suatu mahlauk yang tercipta sebgai ’pelayan’ rumah tangga semata,namun disatu sisi perannya dimasyarakat memang akan menjadi sebuah keharusan yang mendasar,peran bagi komunitasnya,bahkan sebenarnya dia sedang berperan menjadi pemimpin bagi keluarganya,disatu sisi.
Keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh perempuan dalam mengaktualisasikan dirinya dibidang politik,memang harus diakui.Dan penulis disini menilai itu adalah bagian kodrati diri perempuan.Disaat semuanya sadar bahwa,seluruh mahluk yang diciptakan Tuhan tidaklah sempurna,pastilah muncul celah-celah yang dimana sebenarnya dia membutuhklan partner sejati untuk bersama,baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis.Inilah sebenarnya bentuk dari sebuah kesempurnaan hidup. Feminisme merupakan sebuah kondisi dimana haka-hak perempuan memang mesti ditegakkan dan didudukkan dalam perkara yang semestinya,tapi disini penulis menilai bukanlah berarti perempuan merasa harus menyingkirkan kondisi dimana dia memang harus berperan menjadi ’wakil’ atas laki-laki,dan sewaktu-waktu pun mereka dapat pula berperan sebagai ’atasan’ bagi laki-laki.Kondisi seperti ini memang cukup dilematis dan kasuistik,disaat seseorang menilai,bahwasanya perempuan itu hanya dapat berperan sebagai pelayan maupun orang kedua atas kehidupan,terutama dibidang pendidikan dan politik.
Ada banyak kondisi dimana,dunia perempuan berhak menjadi penggerak atau disana perempuan berhak menuntut sebuah kondisi yang berkeadilan, non-diskriminasi, serta non-marginalitas.Dan perjuangan feminisme dibidang politik terutama,haruslah melihat faktor budaya/culture masyarakat yang notabenenya juga dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan,seperti diIndonesia. Dan itu adalah sesuatu yang riil tapi ada kondisi dimana dogmatisme hukum memang mesti mengalami perubahan atas kontekstualitas kekinian,meskipun sebenarnya,bukan disisi aturan yang mendasar seperti:aturan Tuhan yang berlaku,namun patutlah dinilai bahwa kondisi intrepretasi seseorang atas teks itulah yang mesti dikritisi,yang terkadang bersifat patriarkal. Politik perempuan Indonesia yang menuntut sebuah keadilan dalam hukum,konstitusi,maupun aspek lainnya bisalah dibenarkan,dikarenakan kondisi perempuan secara kualitatif memang sudah tidak dipermasalhkan lagi,tidak seperti dulu.
Saat ini sudah cukup banyak perempuan yang berfikir maju, berpendidikan tinggi, serta tidak sedikit pula yang backgroud-nya masyarakat menengah kebawah.Inilah yang menyebabkan timbulnya kesadaran atas politik perempuan Indonesia,terutama dari kalangan feminisme yang berkiblat pada fase post-modernisme,yang saat ini diklomandoi oleh seorang Doctor filsafat beraliran post-modernism,dan pengagum berat Derrida.Gadis Arivia. Hanya saja yang patut ditelaah ialah sejauh mana efektifitas perjuangan kaum feminisme bagi kesejahteraan perempuan Indonesia secara keseluruhan,bukan parsial,bukan teruntuk mereka yang sudah meraih pendidikan tingkat tertinggi semata melainkan proses membangun kesadaran masyarakat kelas bawah,untuk bangun dari tidur panjangnya guna bersama-sama bangkit dari keterpurukan,dan dari bangunan ketidakadilan,dominasi politik laki-laki yang berlebihan,dan kasus-kasus lainnya.
Harapan dari kebangkitan poltik kaum feminisme diIndonesia,adalah salah satunya membangun sebuah kesadaranyang permanen tentang hakekat perempuan mengenai posisi dan peran mereka diseluruh aspek kehidupan.Melalui jalur formal konstitusi negara,hukum positif,maupun dalam bentuk organ-organ formal lainnya. Membangun kesadaran untuk senantiasa terlibat dalam problematika umat kontemporer. Cenderung bersifat dinamis dan kritis ketimbanga statis dan terkesan mengikuti arus. Kebangkitan politik kaum feminisme diIndonesia mestilah dibangun atas dasar kebersamaan seluruh element dan tidak terlepas dari keikutsertaan laki-laki dalam hal ini.Bukan malah mengubur peran laki-laki serta menggeser peran mereka kepada kondisi yang mengalah untuk sementara.
Sangat informatif dan membantu, coba kalian baca juga nih Perbedaan Pemilu 2014 dan 2019
BalasHapus