Langsung ke konten utama

Filsafat Jiwa

PENDAHULUAN

Banyak literatur mengatakan bahwa hampir seluruh realitas terdiri dari dua sisi yang berbeda tetapi saling melengkapi. Seperti halnya sebuah uang logam, dikatakan satu realitas jika kedua sisinya ada. Ketidak-adaan salah satu sisinya, menjadikan uang logam tersebut tidak menjadi satu uang logam. Melainkan sebelah uang logam. Begitupun realitas yang lain, dikatakan satu realitas jika lengkap kedua sisinya. Ada yang mengatakan terdiri dari esensi dan eksistensi, ada juga yang mengatakan terdiri dari jasmani dan rohani, ada juga yang mengatakan jiwa dan raga.


Namun pada praksisnya, keberadaan sisi yang satu sering diragukan. Hal ini terjadi, karena keberadaannya bersifat abstrak. Sehingga sulit untuk dibuktikan secara empiris. Apalagi setelah konsep ilmiah yang disepakati, mengharuskan unsur empiris sebagai syarat sesuatu dikatakan benar secara ilmiah.

Jiwa, sebagai salah satu bagian dari realitas yang bersifat abstrak sudah sering menjadi bahan kajian para ilmuwan terutama filosof. Kebaradaannya yang bersifat abstrak mengharuskan filosof memutar rasio untuk menemukan konsep pemikiran yang utuh dalam menjelaskannya. Terlebih lagi bagi para pemikir muslim yang sudah memiliki konsep jelas mengenai keberadaan jiwa dalam lieratur keislaman, namun masih memerlukan pembuktian.

Konsep Dasar mengenai Jiwa
Diantara Filosof muslim yang memiliki konsep matang mengenai kejiwaan adalah Ibn Sina (980-1037M) . Sehingga tidak jarang, pemikirannya mengenai jiwa diadopsi dan dijadikan referensi oleh tokoh-tokoh selanjutnya. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.

Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita temukan dari buku - buku yang khusus untuk permasalahan kejiwaan ataupun buku - buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.

Menurut ibnu Sina, Jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Definisi ini sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Aristoteles pada waktu sebelumnya. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu dengan keberadaannya, tabiat jenis menjadi manusia.

Jiwa merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip pertama yang mana dengan adanya jiwa suatu spesies (jins) menjadi manusia yang berinteraksi dengan nyata. Artinya jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebaliknya, tubuh sendiri merupakan prasyarat bagi definisi jiwa. Karena, ia bisa dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai perilaku.

Jiwa juga merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik atau bagi tubuh alamiah dan bukan bagi tubuh buatan. Yang dimaksud Ibnu Sina dengan mekanistik adalah bahwa fisik melaksanakan kesempurnaannya yang kedua atau sifatnya yang berkaitan dengan manusia yang tidak lain dari berbagai perilaku atau fungsinya dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya, yaitu berbagai tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.

Pemikir (filosof) pertama -dalam sejarah islam- pun ikut memberikan buah pemikirannya mengenai jiwa. Al-kindi, memberikan defenisi jiwa sebagai “kesempurnaan jisim alami yang organis yang menerima kehidupan” . Namun ia menolak pendapat Aristotoles yang mengatakan bahwa jiwa manusia tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk.

Menurut Al-Kindi, jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Allah. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Jiwa menentang keinginan hawa nafsu, apabila nafsu mendorong manusia melakukan kejahatan, maka jiwalah yang menentangnya. Artinya bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu berbeda dengan nafsu yang dilarang.

Sedangkan, menurut al-Ghazali di dalam buku – buku filsafatnya menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah – ubah yaitu al-Nafs¬ atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan – pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr.

Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan. Substansi yang pertama dinamakan badan (al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa (al-nafs).


Jiwa dalam alQuran 

Dalam al-Quran, kita sering menememukan istilah nafsu, yang sering diartikan pada hal yang serba negative. Nafsu, dapat juga diartikan sebagai jiwa seperti dalam tinjauan kedua bahasa tersebut di atas. Al Quran menyebut kata nafs dalam beberapa bentuk kata jadian, dalam bentuk mufrad, nafs disebutkan sebanyak 77 kali tanpa idlafah dan 65 kali bentuk idlafah, dan dalam bentuk jamaknya (nufus) disebutkan sebanyak 2 kali. Sedangkan dalam bentuk jamak (anfus) sebanyak 158 kali.

Dalam bahasa arab, kata nafs memiliki banyak arti. Nafsun (kata mufrad) jama’nya, anfus atau Nufusun dapat diartikkan ruh, nyawa, tubuh dari seseorang, darah, niat, orang dan kehendak, tetapi dalam pembahasan di tulisan ini terminologi nafs akan dikaji dalam pengertiannya yang di maksud dalam al Quran. Kata nafs dalam al Quran semua dalam bentuk kata ism (kata benda) yakni nafss, nufus dan anfus.

Pada masa awal turunnya al Quran kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia. Namun pada dasarnya kata nafs memiliki aneka makna, antara lain : a). Sebagai diri atau seseorang (QS. Ali imran/ 3:6, QS. Yusuf/ 12: 54, QS. Adz-dzaariyaat/ 51: 21). b)sebagai diri Tuhan (QS. Al-An’am/ 6:12, 54). c). Sebagai person sesuatu (QS. Furqaan/ 25 : 3). d). Sebagai roh (QS. Al An’am/ 6 : 93). e). Sebagai jiwa (QS. Asy-syams/ 97 : 7, QS. Al- Fajr/ 89: 27). f). Sebagai totalitas manusia (QS. Al-ma’idah/ 5 : 32, QS. Al-Qashash/ 28: 19, 33). g). Sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku (QS. Ar-Ra’d/ 13 :11, QS. Al-Anfal/8 :53).

Dalam konteks manusia, gagasan nafs digunakan untuk merujuk pengertian dari totalitas manusia, sesuatu dalam diri manusia yang mempengaruhi perbuatannya, atau nafs sebagai sesuatu dalam diri manusia. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa al Quran memandang jiwa manusia sebagai totalitas dari beberapa bagian yang terpisah.
Dari beberapa penjelasan diatas, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa jiwa merupakan esensi dari manusia, kesempurnaan pertama, dan mempengaruhi sikap serta gerak dari manusia yang actual.

Pembagian Jiwa

Sama dengan al-Farabi, Ibn Sina membagi jiwa kepada tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari:
 Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra.
• Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi.
• Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini.
• Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut.
• Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu.

3. Jiwa manusia (jiwa rasional), yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua:
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat.
Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal itu Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik.


Akal teoritis mempunyai empat tingkatan:
1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni.
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni.
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni.
4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni.
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki filsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi.

Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat didalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untuk membawa manusia kepada kesempurnaan.

Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat diatas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalam menangkap arti-arti murni.

Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat. Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwa tumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak.

Dari paham ini, ada indikasi bahwa jiwa manusia-lah yang akan menghadapi perhitungan kelak dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Hal ini yang menjadi salah satu bahan kritikan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikir islam yang lain dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.

Dalam kajian al-Quran Secara garis besar menggolongkan nafsu manusia dalam beberapa golongan , antara lain :
Nafsu Ammaroh, yaitu jiwa yang belum mampu membedakan mana perbuatan baik dan mana perbuatan tercela. Ia sering berkhianat dan iapun harus menerima dengan apa yang telah diperbuat dalam firman Allah yang berbunyi: Innan nafsa la’ammarotun bissu’.

Nafsu laawwamah, adalah jiwa apabila telah melaksanakan suatu perbuatan dosa, ia menyesal, ia tidak berani berbuat secara terang-terangan.

Nafsu Musawalah; adalah jiwa yang telah mampu membedakan, namun ia tetap melaksanakan perbuatan baik dan buruk.

Nafsu Muthma’inah adalah: jiwa yang telah memperoleh tuntunan dan pemelihraan yang baik.

Nafsu Mulhamah jiwa yang telah memperoleh ilham dari Allah, ia memperoleh ilmu dihiasi akhlak mahmudah dan menjadi sumber sabar, syukur, tabah dan ulet.

Nafsu Radhiyah adalah jiwa yang ridha memperoleh kesejahteraan, mensyukuri nikmat Allah dan qana’ah dengan apa yang telah diperoleh.

Nafsu Mardhiyah adalah jiwa yang diridhai dalam dirinya selalu berzikir, ikhlas dan memperoleh kemuliaan.
Nafsu Kamilah adalah jiwa yang sempurna.

Secara garis besarnya bahwa nafsu dibagi menjadi dua yaitu: Nafsu yang taat melaksanakan perintah-perintah Allah meninggalkan semua larangan-laranganNya. Kedua adalah nafsu yang cenderung melawan ketentuan-ketentuan Allah, keinginan-keinginannya selalu yang berlawanan.

Dalil Keberadaan Jiwa

Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu :


1. Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan. Gerak ada dua macam yaitu :

1) Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.

2) Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a. Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b. Gerak yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
Pengenalan (pengetahuan) tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima (Jiwa) dan Physics, kedua – duanya dari Aristoteles.

Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi kelemahan – kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda – benda tersebut hanya terdiri dari unsur – unsur yang satu macam, sedang benda – benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur – unsurnya). Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda – benda yang bergerak melawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur – unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat – alat (mesin ) yang bergerak dengan gerak yang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa alat – alat (mesin – mesin) terseut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang menggerakkannya. Ulama – ulama biologi sendiri sekarang menafsirkan fenomena kehidupan dengan tafsiran mekanis dan dinamis, tanpa mengikut sertakan kekuatan psikologi (kejiwaan).

Nampaknya Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam kitab – kitab yang dikarang pada masa kematangan ilmunya, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi – segi pikiran dan jiwa, yang merupakan genitalianya Ibnu sina.

2. Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.

Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.


3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas)

Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limpahan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.

4. Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara

Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.

Dalil Ibnu Sina tersebut seperti halnya dengan dalil Descartes, didasarkan atas suatu hipotesa, bahwa pengenalan yang berbeda – beda mengharuskan adanya perkara – perkara yang berbeda – beda pula. Seseorang dapat melepaskan dirinya dari segala sesuatu, kecuali dari jiwanya yang menjadi dasar kepribadian dan dzatnya sendiri. Kalau kebenaran sesuatu dalam alam ini kita ketahui dengan adanya perantara (tidak langsung), maka satu kebenaran saja yang kita ketahui dengan langsung, yaitu jiwa dan kita tidak bisa meragukan tentang wujudnya, meskipun sebentar saja, karena pekerjaan – pekerjaan jiwa selamanya menyaksikan adanya jiwa tersebut.


3. Perbedaan Jiwa dengan Ruh

Pembahasan mengenai perbedaan antara jiwa dengan ruh, penulis anggap sangat diperlukan. Karena sering orang merasa rancu antara keduanya. Kadang orang merasa bahwa ruh merupakan kata lain dari jiwa dan begitu sebaliknya. Dengan beberapa alas an, penulis menyimpulkan bahwa jiwa berbeda dengan ruh. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang menyebabkan Ruh dan Jiwa berbeda. Yang pertama, karena substansinya. Yang kedua, karena fungsinya. Dan yang ketiga, karena sifatnya.

Perbedaan yang pertama, pada substansinya. Jiwa dan Ruh berbeda dari segi kualitas ‘dzat’nya. Jiwa digambarkan sebagai dzat yang bisa berubah-ubah kualitas: naik dan turun, jelek dan baik, kotor dan bersih, dan seterusnya. Sedangkan Ruh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualitas tinggi. Bahkan digambarkan sebagai 'turunan' dari Dzat Ketuhanan.

Tingginya kualitas Ruh itu tergambar dari 2 hal, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Hijr (15) : 29. Yang pertama, ditunjukkan oleh tunduknya malaikat kepada manusia. Dan yang kedua, ditunjukkan oleh penggunakan 'kata ganti' KU, yang menggambarkan bahwa Allah mengakui betapa dekatNya dzat yang bernama Ruh itu dengan Allah. Yang kedua, ketinggian dzat yang disebut Ruh itu terlihat dari bagaimana Allah mengatakannya sebagai Ruh Ku. Tidak pernah Allah, dalam firmanNya, menggunakan kata ganti kepunyaan 'KU' untuk Jiwa. Misalnya, mengatakan 'JiwaKU'. Tetapi Dia menggunakan kata ganti kepunyaan itu, untuk menggambarkan Ruh.

Perbedaan yang kedua, antara Jiwa dan Ruh adalah pada fungsinya. Jiwa digambarkan sebagai ‘sosok’ yang bertanggung jawab atas segala perbuatan kemanusiaannya bukan Ruh. Ruh adalah dzat yang selalu baik dan berkualitas tinggi. Sebaliknya Hawa Nafsu adalah dzat yang berkualitas rendah dan selalu mengajak kepada keburukan. Sedangkan Jiwa adalah dzat yang bisa memilih kebaikan atau keburukan tersebut. Maka, Jiwa harus bertanggung jawab terhadap pilihannya itu.

Dan yang ketiga, Perbedaan itu ada pada sifatnya. Jiwa bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebahagiaan, ketentraman, ketenangan, dan kedamaian. Sedangkan Ruh bersifat stabil dalam 'kebaikan' tanpa mengenal perbandingan. Ruh adalah kutub positif dari sifat kemanusiaan. Sebagai lawan dari sifat setan yang negatif. Jadi, Jiwa adalah akibat. Bukan penyebab. Penyebab utama adalah masuknya Ruh ke dalam badan, kemudian muncullah Jiwa sebagai interaksi antara Ruh dengan Badan.


DAFTAR BACAAN
Buku :
Achmad Mubarok. 2000. Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa Dalam al Quran. Jakarta : Paramadina.
Atang Abd. Hakim & Beni Ahmad Saebani, 2008. Filsafat Umum:dari Metologi Sampai Teolofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Harun Nasution,_____. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah Editor: Budhy Munawar-Rachman , Jakarta Selatan : Penerbit Yayasan Paramadina.
MM Syarif, MA, 1994. Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan.
Sirajuddin Zar, 2007. Filsfat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Edisi II, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Internet :
http://hady412.wordpress.com/2011/03/20/filsafat-jiwa-ibnu-sina
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Paramadina/Konteks/FilsafatIslam2.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi Kelas 9

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 akan penulis bagikan secara gratis. Pengunjung dapat langsung mendownload RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 dan RPP Selembar Kurikulum 2013 bagi kelas 9, pada link yang sudah disediakan di bagian bawah artikel ini. 

Ringkasan PAI SMP Kelas 9 Lengkap

Pada postingan ini akan dibagikan informasi mengenai materi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi kelas 9 SMP secara lengkap. Dari mulai bab pertama sampai dengan terakhir, sesuai dengan yang tercantum dalam buku paket siswa dan Kompetensi Dasar yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk menuju materi yang dimaksud, bisa langsung diklik dalam daftar isi berikut ini: Bab 1 Meyakini Hari Akhir, Mengakhiri Kebiasaan Buruk Bab 2 Jujur dan Menepati Janji Bab 3 Menuai Keberkahan dengan Rasa Hormat dan Taat kepada Orang Tua dan Guru Bab 4 Zakat Fitrah dan Zakat Mal Bab 5 Dahsyatnya Persatuan dalam Ibadah Haji dan Umrah Bab 6 Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara Bab 7 Meraih Kesuksesan dengan Optimis, Ikhtiar dan Tawakal Bab 8 Beriman kepada Qada' dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati Bab 9 Mengasah Pribadi yang Unggul dengan Tata Krama, Santun, dan Malu Bab 10 Menyayangi Binatang dalam Syariat Penyembelihan Bab 11 Akikah dan Kurban Menumbuhkan Kepedulian Umat  Bab 12 Menelusuri Tradisi...

Materi PAI SMP Kelas 9: Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara

1. Peta Konsep 2. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu: a. Menjelaskan tradisi  Nusantara sebelum Islam dengan benar. b. Menjelaskan Akulturasi budaya Islam dengan benar. c. Menjelaskan cara melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan benar. d. Mengambil hikmah mempelajari tradisi Islam Nusantara dengan benar. e. Berperilaku melestarikan tradisi Islam Nusantara dalam kehidupan seharihari dengan benar.