Segala puji bagi Allah, Rabb dan sesembahan sekalian alam, yang telah mencurahkan kenikmatan dan karuniaNya yang tak terhingga dan tak pernah putus sepanjang zaman kepada makhluk-Nya. Baik yang berupa kesehatan, kesempatan sehingga pada kali ini kita dapat menunaikan kewajiban kita sebagai umat muslim yakni mencari ilmu dan menambah wawasan.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada pemimpin dan uswah kita Nabi Muhammad, yang melalui perjuangannyalah, cahaya Islam ini sampai kepada kita, sehingga kita terbebas dari kejahiliyahan, dan kehinaan. Dan semoga shalawat serta salam juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Nabi Muhammad saw bersabda :
لا يكون العبد في السماءولا في الارض مؤمناحتى يكون وصولا ولا يكون وصولا حتى يكون مسلما ولا يكون مسلما حتى يسلم الناس من يده ولسانه ولا يكون مسلما حتى يكون عالما ولا يكون عالما حتى يكون بالعلم عاملا ولا يكون بالعلم عاملا حتى يكون زاهدا ولا يكون زاهدا حتى يكون ورعا ولا يكون ورعا حتى يكون متواضعا ولا يكون متواضعا حتى يكون عارفا بنفسه ولا يكون عارفا بنفسه حتى يكون عا قلا فى الكلام
Artinya :
“Tidaklah seorang hamba yang berada di langit dan berada dibumi menjadi seorang mukmin, sehingga dia menjadi seorang pemurah dan tidaklah ia menjadi seorang pemurah sehingga ia menjadi seorang muslim, dan tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga manusia merasa aman atas kejahatan tangan dan lisannya, dan tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga ia menjadi seorang alim dan tidaklah ia menjadi seorang alim sehingga ia mengamalkan ilmunya, dan tidaklah ia mengamalkan ilmunya sehingga ia menjadi seorang zuhud, dan tidaklah ia menjadi seorang zuhud sehingga ia menjadi seorang wara’, dan tidaklah ia menjadi seorang wara’ sehingga dia tawadlu’, dan tidaklah dia bersikap tawadlu’ sehingga dia mengetahui siapa dirinya, dan tidaklah dia mengetahui dirinya sendiri, sehingga dia berakal dalam ucapannya.”
Pada hadits ini Nabi Muhammad saw menjelaskan kepada kita bahwa ada sepuluh sifat baik yang saling berkaitan. Satu sifat menjadi sebab bagi sifat lainnya. Hilangnya satu sifat menjadi ancaman akan hilangnya sifat yang lain. Maka diharapkan seluruh hamba Allah memiliki semua dari sepuluh sifat tersebut. Karena ketiadaan salah satunya mengakibatkan sifat yang lain hilang, atau bahkan mengakibatkan hilangnya sifat tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa sifat yang satu menjadi syarat bagi sifat yang lain.
1. Tidaklah seorang hamba yang berada di langit dan berada dibumi menjadi seorang mukmin, sehingga dia menjadi seorang pemurah
Nabi mengawali ucapannya dengan kalimat : “ Seorang hamba yang berada di langit dan berada dibumi tidak bisa terbukti beriman, sehingga dia menjadi pemurah.” Pada kalimat ini, Nabi menegaskan bahwa seluruh makhluq -yang diistilahkan dengan al’-abdu- baik itu yang berada dilangit maupun yang berada dibumi harus memiliki sifat pemurah, jika ia ingin menjadi makhluq yang beriman. Keimanan merupakan salah satu pra syarat bagi seluruh amal yang dikerjakan oleh manusia. Jika manusia tidak beriman, maka dikhawatirkan seluruh amalnya tidak dierima oleh Allah swt. Sebaliknya meskipun dosanya sangat besar tetapi masih ada unsure keimanan maka ada jaminan masuk syurga. Seperti yang ditegaskan Allah dalam salah satu hadits qudsi-Nya :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتني بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. (حسن، رواه الترمذي والضياء).
“Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika menemuiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu sedikitpun, niscaya aku berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi dan Adh-Dhiya’, hadist hasan).
Hadist tersebut menegaskan tentang keutamaan iman. Iman merupakan faktor terpenting bagi kebahagiaan seorang hamba. Iman merupakan sarana paling agung untuk melebur dosa-dosa dan maksiat.
Tetapi pengakuan iman saja tidak cukup, melainkan harus diaktualisasikan dengan sikap-sikap yang jelas. Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah, bahkan mengakui keesaaan dan kemahakuasaan Allah dengan permintaannya kepada Allah melalui Asma dan sifat-Nya. Kaum Jahiliyah Kuno yang dihadapi Rasulullah juga meyakini bahwa Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” (Luqman: 25).
Namun kepercayaan mereka dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Karena pengakuan keimanan mereka tidak diaktualisasikan dengan sikap yang jelas dan dibenarkan oleh syara’.
Dalam hadist ini Nabi bersabda bahwa salah satu syarat keimanan seseorang adalah memiliki sifat pemurah. Pemurah adalah salah satu dari aktualisasi habluminanas. Iman sebagai habluminallah harus dilengkapi dengan habluminanas. Karena keseimbangan antara kedua hubungan tersebut adalah suatu keniscayaan. Salah satu hadits mengatakan bahwa barang siapa yang menyayangi makhluq di bumi maka akan disayang oleh sang khaliq.
2. Tidaklah ia menjadi seorang pemurah sehingga ia menjadi seorang muslim
Namun begitu juga untuk menjadi pemurah, seorang hamba harus memenuhi salah satu syarat yakni ia harus menjadi orang muslim (penurut). Sifat muslim (penurut, berserah, damai) disini adalah prasyarat agar seorang hamba mampu memiliki sifat murah hati. Sifat penurut dan berserah akan melahirkan perdamaian. Sifat ini adalah salah satu upaya untuk melaksanakan salah satu tujuan ajaran islam-pengutusan Rasulullah ke muka bumi yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah :
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
3. Dan tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga manusia merasa aman atas kejahatan tangan dan lisannya
Agar seseorang mendapatkan predikat muslim maka ia harus berusaha agar tidak menyakiti orang lain baik dengan lisan maupun dengan tangan.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min, lelaki atau perempuan, tanpa adanya sesuatu -kesalahan- yang mereka lakukan, maka orang-orang yang menyakiti itu menanggung kebohongan dan dosa yang nyata." (al-Ahzab: 58)
Nabi saw bersabda dalam hadits yang lain :
Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang Muslim itu ialah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya -yakni selamat dari kekejaman perkataan serta perbuatannya-. Seorang muhajir -yang hijrah- ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah." (Muttafaq 'alaih)
4. Tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga ia menjadi seorang alim
Menjadi seorang muslim tidak hanya pengakuan semata, melainkan harus diikuti dengan keilmuan yang kuat. Ilmu dan ahli ilmu (pencari dan pengajar) dalam islam memiliki posisi yang sangat istimewa. Banyak sekali ayat alquran, alhadits ataupun qaul ulama yang menjelaskan keistimewaan orang yang berilmu. Sebaliknya beramal dalam islam tanpa menggunakan keilmuan yang mumpuni adalah nihil.
Seperti sabda Nabi :
. تَعَلَّمُوْاالْعِلْمَ ، فّإِنَّ تَعَلُّمُهُ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَتَعْلِيْمَهُ لِمَن ْ لاَ يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ ، وَإِنَّ الْعِلْمَ لَيَنْزِلُ بِصَاحِبِهِ فِى مَوْضِعِ الشَّرَفِ وَالرِّفْعَةِ ، وَالْعِلْمُ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ فِى الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ . (الربيع)
“Tuntutlah ilmu,sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.” (HR. Ar-Rabii’)
5. Tidaklah ia menjadi seorang alim sehingga ia mengamalkan ilmunya
Orang berilmu memiliki posisi istimewa dalam islam. Akan tetapi, orang yang berilmu memiliki tuntutan untuk mengamalkannya. Memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkan akan menjadi boomerang bagi dirinya. Seperti Firman Allah dalam al-Quran :
"Sungguh besar kemurkaan Allah kepada mereka yang mengatakan (ilmu) tetapi tidak mengamalkan." (As-Saff:3)
Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya:
"Orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, akan diazab Allah 500 tahun lebih dahulu dari penyembah berhala."
6. Tidaklah ia mengamalkan ilmunya sehingga ia menjadi seorang zuhud,
Setelah seseorang mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka orang tersebut diharapkan memiliki sikap zuhud. Dalam hal ini sifat zuhud menjadi syarat dalam mengamalkan ilmu.
Dari Abul ‘Abbas, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ اَحَبَّنِيَ اللهُ وَ اَحَبَّنِيَ النَّاسُ فَقَالَ : – اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ- حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه وَ غَيْرُهُ بِاَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya, maka aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia’. Beliau lantas bersabda:
‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu’.”
[Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dengan sanad hasan]
Definisi ‘zuhud terhadap dunia’ adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikannya dari mengingat Allah. Definisi ini sebagaimana dinukil dari Al Hafizh Ibnu Rojab ketika beliau menjelaskan hadits ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaiman Ad Daaroniy.
7. Dan tidaklah ia menjadi seorang zuhud sehingga ia menjadi seorang wara’
Seorang yang zuhud belum sempurna apabila ia belum memiliki sifat wara’. Ibnu Umar berkata:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya.
Ibrohim bin Adham berkata:
"Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan.
Dikatakan pula:
"Wara artinya keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan."
Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- berkata :
"Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembala di sekitar pagar, tidak ayal akan masuk kedalamnya."
8. Dan tidaklah ia menjadi seorang wara’ sehingga dia tawadlu’
Ketika seorang hamba mengharapkan dirinya wara’ maka sebelumnya harus memiliki sifat tawadlu’. Al ‘Azizi berkata : Tawadlu adalah merendahkan diri terhadap kebenaran dan tidak menolak terhadap keputusan yang telah ditetapkan baginya. Ibnu Atho’ menegaskan : Tawadlu adalah menerima kebenaran dari siapa saja datangnya.
Hasan berkata : “Tawadlu adalah jika engkau keluar dari rumahmu dan engkau tidak bertemu dengan seseorang kecuali engkau anggap ia lebih baik darimu.”
تِلْكَ الدَّارُ اْلأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَيُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَفَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Al-Qoshos : 83)
Ali bin Abi Thalib r.a berkata : Ayat ini turun terhadap orang-orang yang adil dan tawadlu, baik mereka itu dari kalangan penguasa atau orang-orang yang punya kekuasaan dari kalangan manusia.
Ibnu Katsir berkata : Allah swt mengabarkan kepada kita bahwa negeri akhirat dan kenikmatan yang ada di dalamnya itu diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang bersikap tawadlu dan tidak menghendaki ketinggian, kesombongan dan kesewenang-wenangan di muka bumi ini.
9. Dan tidaklah dia bersikap tawadlu’ sehingga dia mengetahui siapa dirinya,
Sebelum seseorang disebut tawadlu’, ia terlebih dahulu harus mengetahui siapa dirinya. Apa hakikat dirinya, darimana asalnya, kemana akan pulang, dan sebagainya. Ketika ia mengerti akan dirinya maka kecilkemungkinann untuk sombong melainkan akan memiliki sifat tawadlu’. Ada satu ungkapan mengatakan : “Barangsiapa yang mengenali diringa maka akan mengenali Tuhannya.
10. Dan tidaklah dia mengetahui dirinya sendiri, sehingga dia berakal dalam ucapannya.”
Agar seseorang mampu mengenali dirinya, maka orang tersebut harus mampu berfikir ketika akan berucap. Tidak berucap semena-mena. Nabi pernah menegaskan bahwa keselamatan seseorang terletak pada kemampuannya dalammenjaga lisan.
Basyar bin Harits pernah berkata :
“Ketika berbicara membuatmu kagum maka diamlah, dan ketika diam membuatmu kagum maka berbicaralah.”
Kesimpulannya, Setiap hamba harus memiliki keseluruhan dari sepuluh sifat tadi. Karena ketiadaan salah satunya akan mengancam keberadaan sifat yang lain.
Pembicaraan saya dicukupkan sekian mhon maaf atas segala kekurangan, terimakasih atas segala perhatian.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwaamithariq
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada pemimpin dan uswah kita Nabi Muhammad, yang melalui perjuangannyalah, cahaya Islam ini sampai kepada kita, sehingga kita terbebas dari kejahiliyahan, dan kehinaan. Dan semoga shalawat serta salam juga tercurahkan kepada keluarganya, para sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Nabi Muhammad saw bersabda :
لا يكون العبد في السماءولا في الارض مؤمناحتى يكون وصولا ولا يكون وصولا حتى يكون مسلما ولا يكون مسلما حتى يسلم الناس من يده ولسانه ولا يكون مسلما حتى يكون عالما ولا يكون عالما حتى يكون بالعلم عاملا ولا يكون بالعلم عاملا حتى يكون زاهدا ولا يكون زاهدا حتى يكون ورعا ولا يكون ورعا حتى يكون متواضعا ولا يكون متواضعا حتى يكون عارفا بنفسه ولا يكون عارفا بنفسه حتى يكون عا قلا فى الكلام
Artinya :
“Tidaklah seorang hamba yang berada di langit dan berada dibumi menjadi seorang mukmin, sehingga dia menjadi seorang pemurah dan tidaklah ia menjadi seorang pemurah sehingga ia menjadi seorang muslim, dan tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga manusia merasa aman atas kejahatan tangan dan lisannya, dan tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga ia menjadi seorang alim dan tidaklah ia menjadi seorang alim sehingga ia mengamalkan ilmunya, dan tidaklah ia mengamalkan ilmunya sehingga ia menjadi seorang zuhud, dan tidaklah ia menjadi seorang zuhud sehingga ia menjadi seorang wara’, dan tidaklah ia menjadi seorang wara’ sehingga dia tawadlu’, dan tidaklah dia bersikap tawadlu’ sehingga dia mengetahui siapa dirinya, dan tidaklah dia mengetahui dirinya sendiri, sehingga dia berakal dalam ucapannya.”
Pada hadits ini Nabi Muhammad saw menjelaskan kepada kita bahwa ada sepuluh sifat baik yang saling berkaitan. Satu sifat menjadi sebab bagi sifat lainnya. Hilangnya satu sifat menjadi ancaman akan hilangnya sifat yang lain. Maka diharapkan seluruh hamba Allah memiliki semua dari sepuluh sifat tersebut. Karena ketiadaan salah satunya mengakibatkan sifat yang lain hilang, atau bahkan mengakibatkan hilangnya sifat tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain bisa dikatakan, bahwa sifat yang satu menjadi syarat bagi sifat yang lain.
1. Tidaklah seorang hamba yang berada di langit dan berada dibumi menjadi seorang mukmin, sehingga dia menjadi seorang pemurah
Nabi mengawali ucapannya dengan kalimat : “ Seorang hamba yang berada di langit dan berada dibumi tidak bisa terbukti beriman, sehingga dia menjadi pemurah.” Pada kalimat ini, Nabi menegaskan bahwa seluruh makhluq -yang diistilahkan dengan al’-abdu- baik itu yang berada dilangit maupun yang berada dibumi harus memiliki sifat pemurah, jika ia ingin menjadi makhluq yang beriman. Keimanan merupakan salah satu pra syarat bagi seluruh amal yang dikerjakan oleh manusia. Jika manusia tidak beriman, maka dikhawatirkan seluruh amalnya tidak dierima oleh Allah swt. Sebaliknya meskipun dosanya sangat besar tetapi masih ada unsure keimanan maka ada jaminan masuk syurga. Seperti yang ditegaskan Allah dalam salah satu hadits qudsi-Nya :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتني بِقُرَابِ اْلأَرْضِ خَطَايَا، ثُمَّ لَقِيْتَنِيْ لاَ تُشْرِكُ بِيْ شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً. (حسن، رواه الترمذي والضياء).
“Hai anak Adam, seandainya kamu datang kepadaKu dengan membawa dosa sepenuh bumi, sedangkan engkau ketika menemuiKu dalam keadaan tidak menyekutukanKu sedikitpun, niscaya aku berikan kepadamu ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. At-Tirmidzi dan Adh-Dhiya’, hadist hasan).
Hadist tersebut menegaskan tentang keutamaan iman. Iman merupakan faktor terpenting bagi kebahagiaan seorang hamba. Iman merupakan sarana paling agung untuk melebur dosa-dosa dan maksiat.
Tetapi pengakuan iman saja tidak cukup, melainkan harus diaktualisasikan dengan sikap-sikap yang jelas. Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah, bahkan mengakui keesaaan dan kemahakuasaan Allah dengan permintaannya kepada Allah melalui Asma dan sifat-Nya. Kaum Jahiliyah Kuno yang dihadapi Rasulullah juga meyakini bahwa Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah.” (Luqman: 25).
Namun kepercayaan mereka dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Karena pengakuan keimanan mereka tidak diaktualisasikan dengan sikap yang jelas dan dibenarkan oleh syara’.
Dalam hadist ini Nabi bersabda bahwa salah satu syarat keimanan seseorang adalah memiliki sifat pemurah. Pemurah adalah salah satu dari aktualisasi habluminanas. Iman sebagai habluminallah harus dilengkapi dengan habluminanas. Karena keseimbangan antara kedua hubungan tersebut adalah suatu keniscayaan. Salah satu hadits mengatakan bahwa barang siapa yang menyayangi makhluq di bumi maka akan disayang oleh sang khaliq.
2. Tidaklah ia menjadi seorang pemurah sehingga ia menjadi seorang muslim
Namun begitu juga untuk menjadi pemurah, seorang hamba harus memenuhi salah satu syarat yakni ia harus menjadi orang muslim (penurut). Sifat muslim (penurut, berserah, damai) disini adalah prasyarat agar seorang hamba mampu memiliki sifat murah hati. Sifat penurut dan berserah akan melahirkan perdamaian. Sifat ini adalah salah satu upaya untuk melaksanakan salah satu tujuan ajaran islam-pengutusan Rasulullah ke muka bumi yakni menjadi rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana firman Allah :
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107)
3. Dan tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga manusia merasa aman atas kejahatan tangan dan lisannya
Agar seseorang mendapatkan predikat muslim maka ia harus berusaha agar tidak menyakiti orang lain baik dengan lisan maupun dengan tangan.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu'min, lelaki atau perempuan, tanpa adanya sesuatu -kesalahan- yang mereka lakukan, maka orang-orang yang menyakiti itu menanggung kebohongan dan dosa yang nyata." (al-Ahzab: 58)
Nabi saw bersabda dalam hadits yang lain :
Dari Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash radhiallahu 'anhuma, katanya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: "Seorang Muslim itu ialah orang yang kaum Muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya -yakni selamat dari kekejaman perkataan serta perbuatannya-. Seorang muhajir -yang hijrah- ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah." (Muttafaq 'alaih)
4. Tidaklah ia menjadi seorang muslim sehingga ia menjadi seorang alim
Menjadi seorang muslim tidak hanya pengakuan semata, melainkan harus diikuti dengan keilmuan yang kuat. Ilmu dan ahli ilmu (pencari dan pengajar) dalam islam memiliki posisi yang sangat istimewa. Banyak sekali ayat alquran, alhadits ataupun qaul ulama yang menjelaskan keistimewaan orang yang berilmu. Sebaliknya beramal dalam islam tanpa menggunakan keilmuan yang mumpuni adalah nihil.
Seperti sabda Nabi :
. تَعَلَّمُوْاالْعِلْمَ ، فّإِنَّ تَعَلُّمُهُ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَتَعْلِيْمَهُ لِمَن ْ لاَ يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ ، وَإِنَّ الْعِلْمَ لَيَنْزِلُ بِصَاحِبِهِ فِى مَوْضِعِ الشَّرَفِ وَالرِّفْعَةِ ، وَالْعِلْمُ زَيْنٌ لِأَهْلِهِ فِى الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ . (الربيع)
“Tuntutlah ilmu,sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat.” (HR. Ar-Rabii’)
5. Tidaklah ia menjadi seorang alim sehingga ia mengamalkan ilmunya
Orang berilmu memiliki posisi istimewa dalam islam. Akan tetapi, orang yang berilmu memiliki tuntutan untuk mengamalkannya. Memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkan akan menjadi boomerang bagi dirinya. Seperti Firman Allah dalam al-Quran :
"Sungguh besar kemurkaan Allah kepada mereka yang mengatakan (ilmu) tetapi tidak mengamalkan." (As-Saff:3)
Rasulullah SAW bersabda yang maksudnya:
"Orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, akan diazab Allah 500 tahun lebih dahulu dari penyembah berhala."
6. Tidaklah ia mengamalkan ilmunya sehingga ia menjadi seorang zuhud,
Setelah seseorang mengamalkan ilmu yang dimilikinya, maka orang tersebut diharapkan memiliki sikap zuhud. Dalam hal ini sifat zuhud menjadi syarat dalam mengamalkan ilmu.
Dari Abul ‘Abbas, Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ اَحَبَّنِيَ اللهُ وَ اَحَبَّنِيَ النَّاسُ فَقَالَ : – اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ ، وَازْهَدْ فِيْمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ- حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَه وَ غَيْرُهُ بِاَسَانِيْدَ حَسَنَةٍ
Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu perbuatan yang jika aku mengerjakannya, maka aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia’. Beliau lantas bersabda:
‘Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pula terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia mencintaimu’.”
[Hadits Hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan selainnya dengan sanad hasan]
Definisi ‘zuhud terhadap dunia’ adalah seseorang meninggalkan sesuatu yang dapat melalaikannya dari mengingat Allah. Definisi ini sebagaimana dinukil dari Al Hafizh Ibnu Rojab ketika beliau menjelaskan hadits ini dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (2/186) dari Abu Sulaiman Ad Daaroniy.
7. Dan tidaklah ia menjadi seorang zuhud sehingga ia menjadi seorang wara’
Seorang yang zuhud belum sempurna apabila ia belum memiliki sifat wara’. Ibnu Umar berkata:
"Tidaklah seorang hamba mencapai hakikat ketakwaan sampai ia meninggalkan apa yang meragukan hatinya.
Ibrohim bin Adham berkata:
"Wara adalah meninggalkan setiap perkara samar. Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu adalah meninggalkan hal yang berlebihan.
Dikatakan pula:
"Wara artinya keluar dari syahwat (hawa nafsu) dan meninggalkan kejelekan-kejelekan."
Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya- berkata :
"Adapun wara, maknanya: Menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara haram dan samar, karena semuanya itu dapat memudaratkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara samar telah menyelamatkan kehormatan dan agamanya. Siapa yang terjerumus pada perkara samar, terjerumus dalam perkara haram, sebagaimana pengembala yang mengembala di sekitar pagar, tidak ayal akan masuk kedalamnya."
8. Dan tidaklah ia menjadi seorang wara’ sehingga dia tawadlu’
Ketika seorang hamba mengharapkan dirinya wara’ maka sebelumnya harus memiliki sifat tawadlu’. Al ‘Azizi berkata : Tawadlu adalah merendahkan diri terhadap kebenaran dan tidak menolak terhadap keputusan yang telah ditetapkan baginya. Ibnu Atho’ menegaskan : Tawadlu adalah menerima kebenaran dari siapa saja datangnya.
Hasan berkata : “Tawadlu adalah jika engkau keluar dari rumahmu dan engkau tidak bertemu dengan seseorang kecuali engkau anggap ia lebih baik darimu.”
تِلْكَ الدَّارُ اْلأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لاَيُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَفَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Al-Qoshos : 83)
Ali bin Abi Thalib r.a berkata : Ayat ini turun terhadap orang-orang yang adil dan tawadlu, baik mereka itu dari kalangan penguasa atau orang-orang yang punya kekuasaan dari kalangan manusia.
Ibnu Katsir berkata : Allah swt mengabarkan kepada kita bahwa negeri akhirat dan kenikmatan yang ada di dalamnya itu diperuntukkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, yang bersikap tawadlu dan tidak menghendaki ketinggian, kesombongan dan kesewenang-wenangan di muka bumi ini.
9. Dan tidaklah dia bersikap tawadlu’ sehingga dia mengetahui siapa dirinya,
Sebelum seseorang disebut tawadlu’, ia terlebih dahulu harus mengetahui siapa dirinya. Apa hakikat dirinya, darimana asalnya, kemana akan pulang, dan sebagainya. Ketika ia mengerti akan dirinya maka kecilkemungkinann untuk sombong melainkan akan memiliki sifat tawadlu’. Ada satu ungkapan mengatakan : “Barangsiapa yang mengenali diringa maka akan mengenali Tuhannya.
10. Dan tidaklah dia mengetahui dirinya sendiri, sehingga dia berakal dalam ucapannya.”
Agar seseorang mampu mengenali dirinya, maka orang tersebut harus mampu berfikir ketika akan berucap. Tidak berucap semena-mena. Nabi pernah menegaskan bahwa keselamatan seseorang terletak pada kemampuannya dalammenjaga lisan.
Basyar bin Harits pernah berkata :
“Ketika berbicara membuatmu kagum maka diamlah, dan ketika diam membuatmu kagum maka berbicaralah.”
Kesimpulannya, Setiap hamba harus memiliki keseluruhan dari sepuluh sifat tadi. Karena ketiadaan salah satunya akan mengancam keberadaan sifat yang lain.
Pembicaraan saya dicukupkan sekian mhon maaf atas segala kekurangan, terimakasih atas segala perhatian.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwaamithariq
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokaatuh
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?