Dengan sedikit terseok, Ia kembali melanjutkan perjalanan. Meski pemuda dengan perawakan agak kurus itu, sudah dilumuri dengan keringat, dan wajahnya agak pucat-pasi. Sepertinya, ia sudah beberapa jam tidak sempat menenggak air atau menelan penunda lapar.
Ia mengenakan kemeja biru tua, celana kantor warna hitam, dengan jaket lusuh di pundaknya. Kakinya kelihatan lesu, hilang semangat untuk melangkah. Mungkin, karena sudah terlalu banyak diayun. Atau, malu karena sepatu hitamnya agak kecoklat-coklatan tidak disemir, seperti sepatu para pejabat.
Ujang, begitulah orang memanggilnya. Pria setengah baya itu sudah berputar-putar mengelilingi ruwetnya Kota Singaparna. Ya, bagi Ujang, saat itu Singaparna adalah kota serba ada. Terlalu banyak mobil mewah yang menggoda khayalannya, motor keren yang mengusik ingatannya, toko baju dengan tawaran model-model terbaru yang memperburuk suasana hatinya. Belum lagi, jika Ia ingat pada rintihan perutnya yang belum sempat dijejali makanan. Padahal, kata mantri di kampungnya, Ia harus makan tepat waktu. Karena, maag yang muncul saat Ujang sering tahan lapar di Pesantren bisa saja kambuh lagi. Ia hanya menahan air liur, yang muncul saat melihat poster makanan di beberapa kedai kuliner yang berjejer.
Apadaya, Ijazah yang dibangga-banggakan Ujang dan orang tuanya belum laku di pasaran. Keringat dan jerih payah selama bertahun-tahun, tak membuat iba para pemilik modal. Sudah hampir seminggu, Ujang menjajakan Surat Berharga hadiah dari Pak Kepala Sekolah itu, namun hasilnya nihil. Ya, bagi Ujang ijazahnya adalah hadiah dari Pak Kepala Sekolah. Karena, seharusnya Ijazah itu belum dapat Ia kantongi, mengingat tunggakkannya ke sekolah masih menumpuk.
Hari itu, Ujang sudah hampir putus asa. Bekal dari Bapaknya di kampung, sudah tidak cukup lagi untuk biaya hidup di Singaparna. Padahal, pekerjaan yang Ia fikir akan segera dalam genggaman, belum juga menampakkan diri. Ujang semakin terpukul, jika ingat bahwa bekal itu adalah uang pinjaman bapaknya dari Bu Sutri, seorang konglomerat di kampungnya yang berprofesi sebagai lintah darat.
“Ya Allah, beginikah balasan dari keringatku dan Bapaku selama ini?”, gumam Ujang dalam benaknya. Ia seperti manusia lainnya, yang menyalahkan Tuhan disaat terjepit.
Ia baru sadar. Bahwa, sekolah yang Ia banggakan selama ini pada orang kampung. Sekolah yang membuat Ujang sombong, tidak mampu memberikan pekerjaan. Ia juga malu pada Bapaknya, bahwa janji sekolah untuk menganugerahkan pekerjaan, ternyata tidak jadi kenyataan.
To be continued...
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?