Langsung ke konten utama

BBM Naik Lagi



Seperti biasa. Pagi itu, jalan dipenuhi banyak orang. Ada yang berangkat kerja, sekedar mengantar anak sekolah, atau bahkan hanya jalan-jalan. Adapula yang sengaja berjejer, menunggu angkot lewat di persimpangan jalan. Sesekali terdengar pekikan klakson serta desisan kenalpot menghiasi pusat kota pagi itu. Kendaraan-kendaraan melaju kencang dan sesekali berhenti serentak, dikagetkan rem dadakan angkutan kota.
   “Ke kota, Neng?” teriakan sopir angkot ikut berdering.
   “Iya Pak,” jawab gadis berseragam putih abu-abu.
   “Ayo naik, Neng!” ajak pak sopir bersahabat.
 

Meski sudah beruban dan berkulit lusuh, lelaki itu masih kelihatan gagah dengan jaket kulitnya. Tidak seperti sopir pada umumnya, lelaki tua itu begitu ramah. Mobilnya menyapa jalan dengan lembut, memberi salam pada setiap penumpang, dan memberi harapan pada karyawan-karyawan pabrik yang tak berkendara. Mang Eman. Begitulah sapaan akrabnya dari penumpang.

   “Kiri di depan, Mang!” teriak seorang penumpang, memecah lamunan Mang Eman.
   “Oh... Iya Neng.”
   “Terimakasih Mang!” ujar penumpang itu, sembari mengulurkan uang recehan.
   “Iya, sami-sami,” jawab Mang Eman, dengan logat Sundanya yang kental.
   Tiba-tiba, obrolan penumpang terdengar di balik punggung laki-laki tua itu.
   “Aduh, semakin hari semakin sulit aja ya, hidup teh.
   “Iya, dunia terasa semakin penat. Mendingan zaman dulu saja, ya... Hidup serba murah.”
   Bener-bener tuh, pemerintah! Nggak pernah ngerti kondisi rakyatnya.”
   “Ditengah keterpurukan kondisi ekonomi masyarakat, mereka tiba-tiba menaikan BBM.”

   Cekiiiittt....

   Serentak, kaki Mang Eman menginjak rem mobil. Hal ini, membuat mobil berhenti mendadak dan menjadikan penumpang terseret ke depan seperti terkena banjir bandang.
   “Lho, kenapa Mang?!” seorang penumpang agak menyolot.
   “Aduh, maaf Bu... Emang teh benar-benar kaget. Tadi, ada yang bilang BBM mau naik, benar begitu?” tanya Mang Eman dengan nada terbata-bata.
   “Iya Mang, tadi saya nonton di TV, katanya begitu,” sahut seorang penumpang.
   Maklum, Mang Emang jarang sekali menyaksikan tayangan televisi. Selain tidak ada waktu, rumah Mang Eman pun hampa pesawat televisi. Dulu, sempat punya. Namun, ia harus menjualnya, karena terdesak biaya sekolah anaknya yang tidak bisa ditunda.
   Mang Eman merasa tertembak dengan pernyataan tadi. Ia hanya geleng-geleng kepala. Bayangannya melayang, bahwa harga BBM kembali melilit lehernya yang sudah kurus oleh sulitnya kehidupan. Selama ini, mobil yang jadi sahabat sekaligus tempatnya menggantungkan harapan, bukan miliknya pribadi. Sehingga, setiap hari hanya mendapatkan uang dari sisa setoran dan mengisi bahan bakar. Setoran yang selangit, tidak berimbang dengan jumlah penumpang yang terus berkurang karena kendaraan pribadi. Belum lagi, berbagai pungutan liar yang mau tidak mau harus ia bayar.
   Aura wajah lelaki tua itu berubah seketika. Mata melongo. Keningnya yang minim daging, berkerut. Pipi yang sudah kelihatan bolong, tertarik kulit bibir yang agak manyun, semakin membuatnya tidak menarik. Bibirnya yang hitam legam, mengering seperti anak kecil yang terlalu banyak menangis. Mungkin sedang kesal, larut dalam segala bayang-bayang kelam kehidupannya, atau sedang memutar fikiran mencari solusi.
   Tiba-tiba, matanya menangkap lima jari yang hinggap di depan mobilnya, seiring dengan pekikan peluit panjang. Sosok polisi dengan tubuhnya yang tegap, muncul seketika di hadapan mobil Mang Eman. Ia langsung berkesimpulan, bahwa ia akan ditilang seperti biasanya. Atau disuruh minggir, karena dianggap menghalangi iring-iringan pemilik jalan yang senantiasa dikawal polisi.
   “Stop! Puter balik, Mang!” Pak Polisi itu memberi instruksi.
   “Ada apa ini teh, Pak?” tanya Mang Eman kaget.
   “Ada pemblokiran jalan oleh sekelompok mahasiswa yang demo menolak kenaikan BBM,” jelas Pak Polisi. “Sekarang, angkot Bapak putar balik.”
   Dengan berat hati, Mang Eman terpaksa memutar mobilnya. Seraya menurunkan penumpangnya yang tinggal dua orang itu. Seperti jatuh tertimpa tangga pula. Psikologisnya yang belum pulih karena kabar kenaikan BBM, harus ditambah dengan hilangnya kesempatan memburu penumpang. Ia tahu, mahasiswa berpihak padanya. Namun demikian, ulah mereka berdampak pada penghasilannya hari ini. Setengah jalur angkotnya mereka blokir, itu berarti setengah harapannya telah pudar.
   Mang Eman larut dalam kebingungan. Pasalnya, Ia harus memutar otak untuk membayar setoran. Padahal, setoran hari kemarin saja belum sempat ia lunasi. Harga beras yang teramat mahal baginya, menguras penghasilannya yang tak seberapa. Terpaksa, uang setoran pun harus ia pinjam, untuk membayar biaya sekolah anaknya yang belajar di sebuah SMK di pusat Kabupaten. Ia tidak mau, anaknya kelak mengalami kesulitan yang sama dengannya.
   Sejenak, sopir angkot itu istirahat. Ia berusaha melepas penat. Kalau saja tidak ingat pada anaknya yang paling bontot, ia sudah dari tadi berdiri di tengah jalan untuk mengakhiri hidupnya. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Tuntutan hidup teramat berat ia rasakan. Makian pemilik mobil karena telat setor, tangisan anak-anaknya karena kurang jajan, isakan tangis istrinya karena malu ngutang beras, dan segudang persoalan lainnya seolah tak habis-habisnya ia rasakan.
   “Hhhhhh.... Kalau saja, saya diberi kesempatan jadi presiden,” gumamnya dalam hati. “Mungkin, saya akan lebih tahu kondisi wong cilik seperti saya.”
   “Mang Eman?!” 
   Lamunan Mang Eman harus terhenti oleh seseorang yang memanggil namanya.
   Serentak ia menjawab, diawali dengan menghela nafas panjang. Ia berusaha menyembunyikan segala persoalan hidup yang menderanya.
   “Hahhh... Iya, Pak?”
   “Begini, Mang... Saya dan rombongan sedang memerlukan bantuan Mang Eman,” ujar seseorang yang berjubah, lengkap dengan penutup kepala ala orang Arab itu. Sepertinya, ia sudah begitu akrab dengan Mang Eman.
   “Oh, iya Pak Haji. Apa yang bisa saya bantu?” tanya Mang Eman dengan penuh sikap hormat. Ternyata, lelaki itu adalah pimpinan pengajian di kampungnya.
   Mang Eman berusaha menutupi kekesalan dalam hatinya. Sifat baiknya seakan habis terkikis oleh beratnya terpaan hidup hari itu.
   Ia menggerutu dalam hati, “Dasar sial! Sudah BBM naik, narik nggak sempurna, ada yang minta tolong lagi. Benar-benar, Tuhan tidak berpihak kepadaku hari ini.”
   “Kenapa malah melamun begitu, Mang?”
   “Ohh, tidak Pak Haji. Gimana?”
   “Saya dengan rombongan, sedang dalam perjalanan ke pengajian di Kecamatan sebelah. Tapi, mobil kami mogok, Mang...,” lelaki itu berusaha menjelaskan.
   “Jadi maksud Bapak apa?” Mang Eman seolah lepas kendali.
   “Tenang Mang! Kami ngerti, koq...” lelaki itu sedikit menggoda Mang Eman. Sepertinya, ia tahu kondisi sopir tua yang banyak tanggungan itu.
   “Kami akan menyewa angkot Mang Eman. Jadi, Mang Eman tidak usah narik hari ini. Uang setoran, upah sopir, uang makan,dan tanggungan bensin, sudah kami sediakan.”
   “Wahhh, yang benar, Pak Haji?” tanya Mang Eman seolah tidak percaya.
   “Iya, sekarang cepatlah bergegas. Kami sudah ditunggu, Mang.”
   Mang Eman berjalan kegirangan. Lalu, menyalakan mobilnya penuh dengan keyakinan. Ia tidak lagi berburu dengan waktu untuk mengejar setoran. Ia sadar, bahwa hari ini telah salah berprasangka pada Tuhan. Ia lupa, bahwa Tuhan memiliki kekuasaan yang teramat sempurna. Tuhan tidak akan memberinya beban hidup, di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ia yakin, tingginya harga BBM, tidak setinggi anugerah Tuhan.(*)


Cerpen Pertama yang dimuat di Radar Tasikmalaya, 25 Maret 2012

Gambar diambil disini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi Kelas 9

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 akan penulis bagikan secara gratis. Pengunjung dapat langsung mendownload RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 dan RPP Selembar Kurikulum 2013 bagi kelas 9, pada link yang sudah disediakan di bagian bawah artikel ini. 

Ringkasan PAI SMP Kelas 9 Lengkap

Pada postingan ini akan dibagikan informasi mengenai materi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi kelas 9 SMP secara lengkap. Dari mulai bab pertama sampai dengan terakhir, sesuai dengan yang tercantum dalam buku paket siswa dan Kompetensi Dasar yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk menuju materi yang dimaksud, bisa langsung diklik dalam daftar isi berikut ini: Bab 1 Meyakini Hari Akhir, Mengakhiri Kebiasaan Buruk Bab 2 Jujur dan Menepati Janji Bab 3 Menuai Keberkahan dengan Rasa Hormat dan Taat kepada Orang Tua dan Guru Bab 4 Zakat Fitrah dan Zakat Mal Bab 5 Dahsyatnya Persatuan dalam Ibadah Haji dan Umrah Bab 6 Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara Bab 7 Meraih Kesuksesan dengan Optimis, Ikhtiar dan Tawakal Bab 8 Beriman kepada Qada' dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati Bab 9 Mengasah Pribadi yang Unggul dengan Tata Krama, Santun, dan Malu Bab 10 Menyayangi Binatang dalam Syariat Penyembelihan Bab 11 Akikah dan Kurban Menumbuhkan Kepedulian Umat  Bab 12 Menelusuri Tradisi...

Materi PAI SMP Kelas 9: Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara

1. Peta Konsep 2. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu: a. Menjelaskan tradisi  Nusantara sebelum Islam dengan benar. b. Menjelaskan Akulturasi budaya Islam dengan benar. c. Menjelaskan cara melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan benar. d. Mengambil hikmah mempelajari tradisi Islam Nusantara dengan benar. e. Berperilaku melestarikan tradisi Islam Nusantara dalam kehidupan seharihari dengan benar.