JEEP itu terus melaju. Larut dalam antrian kendaraan
yang menyemut. Asep membanting mobilnya belok ke kiri, menghindari keramaian, menuju
jalan yang lebih sempit. Di pinggir jalan, berjejer pohon-pohon hijau, bak
pasukan paskibraka yang berbaris rapi di lapangan upacara.
Asep sangat merindukan tempat ini. Sudah lima belas
tahun, dia tak bersua dengan pemandangan yang menemani masa-masa kecil bersama
ibunya. Ayahnya sudah meninggal sejak ia masih dalam kandungan. Hanya tinggal
ibunya, satu-satunya keluarga yang masih hidup. Sepeninggal ayahnya, Asep
tinggal bersama ibunya di gubuk kecil, pojok desa jauh dari keramaian kota.
Dan, inilah tujuan yang selalu dipikirkannya dari pagi dan siang melarut
menjadi malam.
Mata tajamnya menyapu pemandangan hijau hamparan
sawah petani yang masih perawan. Dia bisa menghirup udara segar, wangi bunga
yang harum semerbak, dan rerumputan muda yang sedang ranum. Dan, sebuah elf
berwarna merah berjalan melintas sempoyongan, bergoyang di atas jalan beraspal yang sudah penuh dengan lubang.
Mobil itu sama sekali tidak asing bagi Asep. Satu-satunya
angkutan umum yang melintas ke kampungnya.
Sekilas, matanya menangkap ekspresi menggerutu dari para penumpang yang sedang
berdesak-desakan. Si sopir tampak menghisap pelan batang rokok keretek penuh
nikmat. Ia mengendalikan kemudi dengan santai. Seolah terbiasa berjuang
menaklukan medan terjal, jalan berbatu yang hampir mirip sungai tak berair.
Elf itu pernah menjadi teman seperjuangan bagi Asep, sama halnya
dengan para penduduk lain di kampungnya, yang menggantungkan harapan pada mobil
tua itu. Bibirnya menyungging, dan senyumnya terlihat padas. Ia sering naik mobil itu bersama ibunya, untuk mencari kebutuhan yang hanya bisa didapatkan di pasar.
Asep menghela nafas panjang. Mengingat itu semua
membuat ia semakin merindukan ibunya. Selama lima belas tahun, ia tidak pernah
melihat wajah ibunya lagi. Hati Asep semakin takut. Ia takut apa yang akan ia
lihat nanti tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan. Ia juga takut ibunya akan
marah kalau ia pulang. Tapi tidak, Asep sudah kaya sekarang. Asep telah berhasil
menjadi pengusaha muda. Ia
memiliki ratusan karyawan yang sudah lama bekerja untuknya. Sekarang, Asep
tidak akan malu bertemu ibunya. Ia sudah kaya raya.
Asep memacu mobilnya penuh harap. Lima belas tahun
yang lalu akan terbayar. Asep telah pulang ke rumah. Ia akan bertemu ibu yang
sangat dicintainya.
“Mulai sekarang, semuanya akan berbeda,” gumamnya.
Tampak kesenangan terpancar di raut mukanya.
Dari kejauhan ia mendengar lantunan pupujian
khas di kampungnya. Hatinya menjadi tenang. Ia akan menghabiskan waktu di rumah
ibu, beberapa hari ke depan. Lalu membawa ibunya tinggal bersama, di kota
tempat menuai kesuksesannya.
“Ini dia rumah Pak Eman,” batinnya.
“Rumah Bu Icih, Pak Dadang, dan…”.
Terdengar desit keras ban mobilnya. Seketika, Asep
menghentikan mobilnya tiba-tiba. Perasaannya tidak karuan. Ada rasa senang,
bangga, sedih, kaget dan khawatir. Bercampur aduk menjadi satu.
Rumah panggung itu masih tetap sama. Namun, sebentar,
ada yang janggal. Halaman rumah ditumbuhi ilalang yang tinggi. Kandang ayam di
samping rumah sudah berlumut dan rusak. Tanah yang ia injak penuh kotoran
hewan. Asep berjalan cepat dan hendak mengetuk pintu. Tapi, pintu dan segala yang ada di sekitar rumah itu telah berdebu, seakan tidak pernah disentuh
beberapa tahun. Asep hanya berdiri mematung. Horor memenuhi dirinya. Ia
bingung.
“Siapa di sana?” Suara di belakangnya muncul dengan
tiba-tiba. Membuatnya tersentak.
Asep masih mengenali si pemilik suara. Dia Bi Icih,
tetangga sebelahnya dulu.
Asep menghampiri Bi Icih cepat-cepat. Ia ingin
menanyakan semua. Tapi, lebih dari itu, ia takut mendengar jawabannya.
“Ini Asep, Bi. Saya ingin bertanya.”
“As… Asep?” ucap Bi Icih terbata-bata. Matanya membelalak.
“Bukankah kamu sudah mati? Kami semua mengira kamu
sudah mati, Jang. Berkali-kali ibumu bilang kamu sudah mati... Asep sudah
mati...”.
“Apa maksud Bi Icih? Saya masih hidup, Bi. Sekarang,
di mana Ibu saya, Bi? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Bi Icih menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya dia
merasa sedih sekaligus ketakutan. Kemudian dengan suara lirih dia berkata,
“Ibumu ada di rumah Pupuhu Kampung... Dia sakit, Jang.”
“Sakit? Sakit apa, Bi? Apa yang sebenarnya
terjadi?” Asep semakin panik dan bingung. Dan Bi Icih terlalu bingung untuk
menjawab.
“Ibi teh tidak tahu, Jang. Ujang
ke sana saja.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Asep meninggalkan
Bi Icih yang masih terkejut dengan kehadirannya. Tubuh Asep bergetar. Ia tidak
mau mengijinkan pikiran negatif membuatnya takut. Tapi, ia sudah sangat takut.
Mengapa orang-orang desa menganggapnya sudah mati, padahal ia masih hidup?
Kenapa rumahnya kosong? Di mana Ibunya sekarang? Ia semakin bingung dengan
perasaannya sendiri.
Asep berjalan tanpa mobilnya. Karena untuk sampai
ke rumah Pupuhu Kampung, tidak ada jalan mobil. Sepuluh menit Asep berjalan
terburu-buru akhirnya ia pun sampai. Memang, Asep cukup mengenali Pupuhu
Kampung. Kerap kali ia menjadi dewa
penolong bagi warganya yang kesulitan. Termasuk menampung atau membangunkan
rumah sederhana bagi warga sebatang kara, seperti ibu Asep. Sedikitnya sudah
lima janda tua, di Kampung Asep yang ditinggalkan anak-anaknya merantau. Hidup
menyendiri. Hingga akhirnya, harus mengakhiri hidup di bawah tanggungan Sang Pupuhu
Kampung.
Pikiran Asep tak menentu. Ia menerawang ke
belakang. Kejadian yang pernah ia alami lima belas tahun silam.
Pada suatu sore yang cerah. Asep larut dengan
teman-temannya bermain gobag, permainan anak-anak orang Sunda, yang
mengajarkan kebersamaan, namun sudah dilupakan anak sekarang. Tiba-tiba,
Ibunya berjalan tertatih menghampiri Asep. Ia mengajak Asep pulang. Matanya merah, seperti sudah mengucurkan air mata.
“Ada yang ingin Ibu katakan, Sep.”
Asep baru sadar. Ibunya sudah berpesan, ia harus
pulang sebelum Ashar.
“Asep, anakku, kamu harus mampu mengatur waktu dengan baik. Jaga shalatmu. Boleh bermain, tapi jangan lupa untuk membantu ibu.”
Asep merasa terganggu oleh ibunya. Ia iri dengan teman-temannya yang bebas bermain. Lebih dari itu, ia merasa menjadi manusia paling tidak beruntung, karena harus hidup bersama ibunya. Asep merasa hidupnya berat. Tak berkecukupan seperti temannya. Asep menyesal jadi anak orang miskin.
"Ahh, ibu hanya bisa mengganggu kesenangan Asep. Sementara kebutuhan dan keinginan Asep tak bisa ibu penuhi. Aku menyesal jadi anak orang miskin!"
Asep tak sadar, kata-kata itu meluncur dari mulutnya. Emosinya tak terkendali. Tubuhnya gemetar hebat. Ia lari ke rumah, tanpa menoleh ibunya yang tertegun mematung saat mendengar teriakan Asep. Sang Ibu benar-benar terpukul dengan perkataan Asep, apalagi hal ini terjadi, beberapa saat setelah ia ditegur tetangga karena perilaku Asep yang sering mengajak anak tetangganya kebablasan bermain.
Sang Ibu belum sempat beranjak dari tempatnya berdiri, Asep sudah menghampirinya lagi dengan membawa ransel besar.
"Asep mau kemana, Sayang?"
"Asep mau merantau ke kota. Bosan jadi orang miskin. Jangan pedulikan Asep. Nanti akan pulang saat sudah jadi orang kaya!"
Asep benar-benar pergi. Ibunya tak mampu melarangnya.
****
Di golodog rumah Pupuhu Kampung, wanita
tua itu duduk dengan kepala menengadah ke atas. Matanya menerawang jauh. Asep
berjalan menghampiri wanita itu. Pelan, pelan sekali. Asep hampir tidak
mengenali ibunya lagi. Sungguh, semakin tua dan keriput. Kulitnya yang dulu
putih menjadi hitam tidak rata. Uban putih memenuhi rambutnya. Ada botak-botak kecil,
terlihat agak jelas. Pipi yang sudah kelihatan bolong, tertarik
kulit bibir yang agak manyun, semakin membuatnya tidak menarik. Tubuh Asep
tidak bisa bergerak. Ia hanya mematung. Dadanya bergetar hebat. Beribu
pertanyaan ada dalam kepalanya. Kepalanya pusing sekali. Seakan ditusuk-tusuk
jarum panas dan membuat otaknya serasa mendidih. Perutnya melilit sakit. Ulu
hatinya terluka. Rasanya ia ingin mati saja.
Asep menghampiri wanita itu, menggenggam tangannya,
dan mulai berkata lirih, “Ibu... Ibu... Ibu....”.
Wanita itu menoleh. Namun tidak mengenalinya. Dia
hanya memandang Asep dengan tatapan rasa ingin tahu. Wanita itu berkata lirih.
Hanya Asep yang bisa mendengarnya. “Siapa...?”
Asep ketakutan. Apakah ibunya jadi gila selama lima
belas tahun ini? Apakah dia hilang ingatan? Air mata Asep mengalir semakin
deras. Ia sesengukan. Seluruh penghuni rumah Pupuhu Kampung memandangnya. Tapi ia tidak peduli. Asep
menjerit. Hatinya perih dan hancur. Kalaulah ia mati, mungkin kematian lebih
baik dari ini. Asep menangis di pangkuan ibunya. “Ibu... bunuhlah aku...
bunuhlah aku.”
****
“Dia menderita pikun, Jang. Pikirannya terganggu,” ucap Sang Pupuhu
Kampung ketika Asep bertanya tentang kondisi ibunya.
“Jangankan dirimu yang sudah lima belas tahun tidak
bertemu, ia bahkan tidak bisa mengingat nama saya yang menemuinya setiap hari.
Pikunnya sudah sangat parah. Kami hanya bisa merawatnya semampu kami. Ketika
menerimanya di rumah ini, kami sempat ragu. Sepertinya dia mengalami goncangan
hebat. Goncangan yang mengikis ingatannya. Sejak pertama kali di sini, enam
tahun lalu, dia selalu menyebut nama kamu, Jang. Asep, Asep, dan Asep.”
Nyawa Asep seakan dicabut dari tubuhnya. Ia
tidak mendengar dengan baik penjelasan Pupuhu Kampung. Ia sudah terduduk
dan tertunduk lesu. Tubuhnya lemah tanpa daya. Asep sangat menyesal. Penyesalan
yang begitu besar. Sia-sia ia berjuang di kota berusaha menjadi orang kaya. Sia-sia semuanya. Sia-sia.
Ia rela mati jika bisa membuat ibunya sembuh.
Ia belum bisa menghentikan air matanya yang terus jatuh. Ia tidak punya tenaga
untuk mencegah air mata itu mengalir. Bahkan, Asep berharap air mata itu bisa
terus mengalir. Terus dan terus mengalir sampai habis. Sebagai pengganti rasa
penyesalan dalam dirinya. Namun, semuanya sudah terlambat.
Ia berlutut, lemah terkulai. Ia sudah menyesali segala perbuatanna dan berniat meminta maaf pada sang ibu. Tapi apadaya, kini hal itu tak bisa ia lakukan. Sebagai usaha untuk menebus rasa bersalahnya, ia berjanji akan menghabiskan sisa usianya untuk merawat Sang Ibu.
***
Pupujian: bacaan yang dibaca di antara adzan dan qamat, pengajian rutin ibu-ibu, dan ritual keagamaan orang Sunda lainnya
dengan nada tertentu.
Golodog: semacam tangga
yang dipasang di depan pintu rumah panggung.
Gambar diambil disini
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?