Tentu
kita tidak mau, memiliki anak cerdas dan banyak keahlian, tapi miskin
kesolehan. Kita tidak mau, menyaksikan anak bergelar panjang, namun juga
panjang tangan.
“Siswi SMP Tewas Saat Berusaha Gugurkan Kandungan”, begitulah judul berita yang dimuat Kabar Priangan (Senin, 15 Oktober 2012). Seolah pertanda bahwa pendidikan kita belum luput dari persoalan. Laksana gunung es, jika dikuak secara mendalam, persoalannya semakin banyak dan jelas.
“Siswi SMP Tewas Saat Berusaha Gugurkan Kandungan”, begitulah judul berita yang dimuat Kabar Priangan (Senin, 15 Oktober 2012). Seolah pertanda bahwa pendidikan kita belum luput dari persoalan. Laksana gunung es, jika dikuak secara mendalam, persoalannya semakin banyak dan jelas.
Berita di atas, cukup membuat guru-guru
di tempat penulis mengabdi tersentak. Mereka dapat merasakan naluri seorang
guru terhadap muridnya. Demikian pula naluri orang tua terhadap anaknya.
Betapa tidak, murid yang selama ini
diharapkan mampu menebar kemanfa’atan hidup, malah seolah meludahi wajah sang
guru. Anak yang diharapkan mampu melanjutkan, serta memperbaiki jejak langkah
orang tuanya, malah menghilang meninggalkan noda.
Saya tidak sedang menyalahkan sang anak.
Tapi, memang demikian adanya. Yang tampak muncul ke permukaan adalah, sosok
seorang pelajar yang tewas dalam keadaan menggugurkan kandungan, buah
perbuatannya dengan pasangan hidup yang belum sah secara norma agama, sosial,
adat maupun hukum positif bangsa kita. Sosok anak yang harus rela menanggalkan
seluruh masa depannya, menghapus harapan keluarga dan masyarakat, mengubur
perjuangan dan pengorbanan orang tuanya.
Mungkin, ini merupakan salah satu
pembenar terhadap apa yang diungkap Ahmad Tafsir (salah satu tokoh pendidikan Islam), bahwa
permasalahan lulusan pendidikan kita, tidak hanya terletak pada banyaknya
pengangguran. Lebih dari itu, ada persoalan lain yang tidak kalah penting,
namun sering disepelakan. Ya, lulusan yang tidak bermoral, tidak beradab, tidak
berakhlak baik, tidak manusiawi.
Ini bukan tanpa berdasar. Karena, kita tentu tidak mau, melihat banyak orang cerdas, banyak keahlian, tapi miskin kesolehan. Kita tidak mau, menyaksikan orang bergelar panjang, namun juga panjang tangan. Pandai berbicara, namun juga pandai berdusta.
Bukankah, pelaku korupsi itu pendidikannya tidak ecek-ecek (rendahan)? Kebanyakan dari mereka telah mengenyam pendidikan tinggi. Baik S1, S2, S3, bahkan bergelar guru besar. Hal ini memberi indikasi, bahwa pendidikan belum sepenuhnya mampu menjadikan seseorang menjadi lebih baik. Pendidikan belum mampu menjadi solusi.
Mengurai Benang Merah
Pemberitaan media, baik cetak maupun elektronik, akhir-akhir ini sering diwarnai tawuran antar pelajar. Pelajar dengan pelajar saling adu jotos. Siswa sekolah yang satu dengan sekolah yang lain saling serang. Bentrokan mahasiswa antarjurusan, antarfakultas, ataupun antarkampus kerap terjadi. Tidak jarang, rutinitas ini harus memakan korban.
Disisi lain, pergaulan bebas sudah mulai merangsek ke lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Beberapa penelitian mengatakan bahwa banyak pelajar perempuan, sudah tidak perawan. Kegiatan ciuman sudah tidak tabu lagi. Salah satu buktinya, ya berita yang dimuat Kabar Priangan tadi. Ini adalah lampu kuning bagi seluruh pemilik dan pemangku kepentingan, agar lebih serius mengurus pendidikan.
Harapan masyarakat terhadap pendidikan sebetulnya sangat tinggi. Pendidikan dijadikan tumpuan harapan unuk menjawab persoalan bangsa. Namun, agaknya harapan itu sedikit memudar. Melihat permasalahan pendidikan begitu kompleks. Terlebih, masyarakat dengan mudahnya mengakses pemberitaan mengenai ketimpangan, bahkan ketidakmenarikan wajah pendidikan kita.
Pendidikan, seolah hanya berpusat pada pemenuhan otak dengan konsep-konsep ilmu alam, rumus-rumus, pemahaman ekonomi, dan wawasan-wawasan sosial alakadarnya. Disamping itu, perhatian pendidikan hanya terpusat pada keahlian-keahlian untuk menjawab kebutuhan pekerjaan, meski terkadang salah sasaran. Adapun aspek penting lain dari peserta didik sering dilupakan. Misalnya, pembinaan moral, budi pekerti, keimanan, cara bergaul dan cara bersikap hampir tidak tersentuh.
Pengajaran Agama Layak Disalahkan?
Sudah saatnya, semua pihak menyatukan barisan untuk menyelesaikan semua persoalan di atas. Tidak perlu lagi saling menyalahkan, terlebih hanya saling lempar bola panas. Semua memiliki porsi masing-masing untuk berandil.
Memang benar, persoalan pendidikan begitu kompleks. Sehingga, penulis sadar, tidak mungkin mampu mengurai solusi hanya pada tulisan pendek ini.
Jika dihadapkan pada persoalan demikian, biasanya agama menjadi menarik untuk diperbincangkan. Kerapkali muncul ungkapan miring terhadap agama. Jangan-jangan, agama tidak mampu lagi menjadi benteng kehidupan pelajar atau lulusan pendidikan kita. Atau, jangan-jangan ada yang salah dalam “penyampaian dan atau penafsiran” materi-materi agama di sekolah kita.
Pendidikan keagamaan, seolah tidak lagi mampu menjawab persoalan ini. Karena pendidikan keagamaan hanya sebatas mata pelajaran. Mata pelajaran kejar tayang. Hanya berorientasi pada penyelesaian beban belajar. Tolak ukurnya adalah kemampuan siswa dalam mengisi lembar soal ujian. Setelah itu, selesai perkara.
Inti dari beragama adalah sikap. Dan, inti dari sikap beragama adalah iman. Demikian yang diungkap oleh Ahmad Tafsir. Jadi, jika berbicara mengenai pembelajaran agama, maka pada intinya adalah bagaimana menjadikan anak didik kita menjadi beriman.
Persoalannya, bagaimana cara menjadikan anak didik kita menjadi beriman. Karena, penanaman keimanan tentunya berbeda dengan pengajaran teori atau keahlian lain.
Iman tidak hanya diajarkan. Karena, pengajaran hanya berkutat pada penambahan pengetahuan (kognitif) dan pembinaan keterampilan. Sehingga, dengan pengajaran, hanya akan menghasilkan pengetahuan tentang iman. Seperti apa iman itu, apa yang wajib diimani, dan bagaimana cara beriman. Sedangkan penanamannya belum tentu tercapai.
Hemat penulis, pada titik inilah, salah satu letak kesalahan pengajaran agama di sekolah kita. Siswa hanya dicekoki teori dan diajarkan cara-cara melakukan peribadahan tertentu. Dan indikator keberhasilannya, hanya terdapat dalam angka hasil ujian beberapa menit.
Maka, jangan disalahkan jika banyak lulusan yang hafal sifat-sifat Tuhan, namun perilakunya tidak mencerminkan sifat ketuhanan. Banyak tokoh yang hafal al-Quran, namun sengaja melanggar norma-norma al-Quran. Banyak tokoh yang mengetahui larangan korupsi dalam al-Quran, namun seringkali membiayai hidup dengan korupsi. Bahkan, al-Qurannya sengaja dikorupsi.
Tempat iman ada di dalam hati. Jadi, penanaman keimanan harus melalui pendekatan hati. Seperti yang disarankan Ahmad Tafsir, penanaman keimanan bisa dilakukan dengan beberapa metode. Yaitu, keteladanan, pembiasaan, penegakan kedisiplinan, motivasi dan hukuman, serta penciptaan suasana yang berpengaruh positif. Jadi, Indikator keimanan siswa, tidak hanya terletak pada jumlah hafalan dan nilai ulangan.
Dengan cara demikian, semoga mampu melahirkan lulusan yang cerdas, memiliki banyak wawasan dan keterampilan, serta memiliki sikap yang baik. Lulusan yang jauh dari segala perilaku tidak manusiawi.
Dimuat di Harian Pagi Kabar Priangan, Jum'at 9 Nopember 2012
Sumber gambar: disini
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?