Langsung ke konten utama

Terjebak


“Inilah, aku terjebak antara apa yang akan kulakukan, dengan budaya busuk yang telah menggurita...”
 
Warga menyebutnya Kantor Kepala Desa. Berdiri di tengah hamparan ilalang yang menguning, di bawah perlindungan rindangnya beringin tua. Keberadaannya yang jauh dari sumber air, membuat bangunan ini tak bertoilet. Jangankan fasilitas kantor yang mewah, jendela saja hampir tak punya. Dulu, ada empat jendela, namun sang waktu memangsanya dengan ganas. Jendela itu lapuk, hingga diganti dengan papan seadanya.


Bangunan ini belum begitu akrab bagi Agus. Ia baru mulai rutin menjamahi bangunan kumuh ini sebulan yang lalu. Setelah ia didaftarkan Mama Ulis sebagai juru administrasi, tepatnya pemegang komputer. Pak Kuwu bersedia menggunakan tenaga Agus, karena hanya dia satu-satunya sarjana di desa itu. Mungkin seperti pada umumnya warga desa, yang sering berujar, bahwa tukang sarjana mah serba bisa. 
 
Setiap hari, Agus datang pagi-pagi, layaknya pekerja kantoran. Beda halnya dengan tiga pegawai lain, datang seenaknya, pulang sebelum bedug. Alasannya klasik, karena kebutuhan belum tercukupi. Konon, kerja di desa hanya sebagai panggilan jiwa, atau karena tidak ada warga lain yang bersedia. Bagaimana tidak, penghasilan buruh harian lepas yang bekerja di ladang Juragan Karta pun, masih jauh lebih besar dari gaji mereka. Kemalasan itu seolah kian menjadi, semenjak mereka melek informasi. Mereka sadar, ketimpangan begitu tajam.


Selain juru administrasi, Agus banyak tugas tambahan. Mulai pemegang kunci, menyapu lantai, merapikan kursi, serta membuang puntung roko yang berserakan di ruangan Pa Kuwu. Jongos. Itu mungkin kata yang lebih tepat untuk Agus, saat ini. Dengan upah tak seberapa, ia harus mengerjakan semuanya. Benar apa yang diamanatkan Mama Ulis, bahwa kerja di desa mah harus iklas. Padahal, secara teori, seharusnya ia mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ia berhasil mendapatkan predikat cumlaude dari kampusnya.
 
Punten...”, tiba-tiba Agus mendengar panggilan minta ijin, diiringi ketukan pintu. Seperti biasa, ketukan itu terdengar pelan. Mungkin, sang tamu khawatir terjadi apa-apa pada pintu yang sudah kelihatan rapuh.

Mangga, langsung masuk saja,” Agus menyahut dengan penuh keramahan. Ia mencoba sembunyikan semua kepenatan.

Lelaki bertubuh kekar muncul di hadapan Agus. Ia mengenakan kaos hitam bertuliskan “LAWAN”. Celana jeans warna hitam banyak saku, lengkap dengan sepatu kulit gaya militer. Rambut yang agak gondrong membuatnya semakin gagah.

Agus sejenak ternganga. Ia membayangkan apa yang terjadi dua minggu lalu. Ketika ia harus meladeni seseorang yang mengaku pers. Waktu itu, ia ditanya terkait kebocoran uang proyek pembangunan jalan desa. Dan, dana pinjaman bergulir yang diselewengkan untuk menutupi tunggakan pajak. Yang Agus tahu, Pa Kuwu melakukan semua itu hanya sekedar mengejar predikat Desa Teladan Membayar Pajak. Karena, dengan gelar tersebut, desanya akan kehujanan proyek pemerintah.

“Pak Kuwu ada, Jang?” suara lelaki itu memecah lamunan Agus. 

Agus sedikit kebingungan mendengar pertanyaan itu. Pasalnya, Pak Kuwu sedang berkunjung ke desa sebelah dengan motor barunya. Motor hadiah dari Juragan Karta, seorang konglomerat di desa itu. Izin yang diberikan Pak Kuwu untuk penebangan seratus kayu tua di hulu sungai ujung desa, membuat Juragan Karta baik hati.

Memang, akhir-akhir ini Pak Kuwu sering berkunjung ke desa sebelah. Menurut rumor yang muncul di masyarakat, di sana ada janda muda bahenol nerkom. Katanya sih, berhasil mengawini janda tersebut adalah gengsi tersendiri. 

“Emh, Pak Kuwu sedang ke Kecamatan, Kang. Ada rapat dengan Pak Camat.” 

Agus mencoba menjelaskan. Ia mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya: berbohong. Padahal, sebelum masuk lingkungan ini, berbohong adalah barang haram baginya. Terlebih ketika ia mondok di sebuah pesantren, tempo dulu. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan telah berbeda.

“Demi kemaslahatan, saya harus lakukan ini,” gumamnya dalam hati. Ia mencoba menahan kemelut di jiwanya. Membenarkan apa yang ia lakukan. Meski nurani terus mengganggunya.

“Begini, Jang. Saya mewakili masyarakat desa ini. Tolong sampaikan pada Kuwu, penebangan kayu di hulu sungai, harus dihentikan. Kalau tidak, satu-satunya sumber air desa kita akan segera punah!”
“Iy... iya, Kang. Akan saya sampaikan.”

“Satu lagi. Kalau dia tidak mengindahkan pesan ini, tahu rasa. Saya tidak segan-segan akan menggerakkan massa!” sambung lelaki itu dengan nada mengancam.

“Iya, akan saya sampaikan. Kami memang sangat membutuhkan warga seperti Akang. Setidaknya, ada yang berani memberi masukan. Mudah-mudahan, kebijakan pemerintah desa senantiasa berpihak kepada rakyat.” 

Agus menjawab dengan bahasa diplomasi. Ia sedikit mengingat-ingat keterampilan berkomunikasi ala aktivis. Ia mengerti betul kejiwaan lelaki itu. Karena, ketika mahasiswa dulu, ia sering melakukan hal yang sama. 

“Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu. Masyarakat menunggu hasil perjuangan saya. Apa yang saya lakukan, semuanya untuk masyarakat. Tidak seperti Kau! Menjilat penguasa, demi perut sendiri!” pungkas lelaki itu, sembari meninggalkan Agus sendirian.

“Dasar laknat! Siapa penjilat, siapa yang berjuang?!” gumam Agus dalam hati. Ia semakin tidak kuat dengan keadaannya. Ia bagaikan makan buah simalakama. 

Semenjak kehadirannya, pegawai desa menjadi lebih tenang menghadapi orang-orang seperti lelaki tadi. Tidak jarang, Agus dibiarkan menjadi tumbal. Seperti hari ini, tidak satupun pegawai yang berani menongolkan batang hidung. Padahal, ia sama sekali tidak mengetahui apa yang dipersoalkan. Tumbal. Agus benar-benar jadi tumbal.

Beberapa saat kemudian, muncul lelaki berpenampilan tidak jauh dengan yang tadi. Hanya saja, ini kelihatan lebih bersih.

“Siapa lagi sih,” pikir Agus mulai jengkel.
“Pak Kuwu ada?”
“Aduh, beliau lagi ke Kecamatan, Kang. Barangkali ada yang bisa saya bantu?”
“Saya hanya menjadi penyambung lidah warga desa. Banyak warga yang berterima kasih pada Pak Kuwu, terkait penebangan kayu itu. Soalnya, banyak warga yang mendapat pekerjaan. Belum lagi, kebaikan Juragan Karta untuk membantu madrasah di Desa kita.”

Belum sempat Agus jawab, lelaki itu kembali berbicara, “Warga berharap, Pak Kuwu dengan jajarannya jangan sampai menuruti issu yang tidak jelas. Memang, demi kemajuan desa, kita harus berani berkorban, berani mengambil resiko.”

Dengan sedikit kesal Agus menjawab, “Iya, Kang. Akan saya sampaikan. Terimakasih, sudah meluangkan waktu untuk menyampaikan aspirasi warga.”

“Ini sudah kewajiban saya, sebagai warga yang memiliki kepedulian sosial. Tidak seperti Kau! Makan dari uang rakyat, tapi tidak merakyat!” jawab lelaki itu, sambil bergegas meninggalkan Agus tanpa pamitan.

Menjelang Ashar, Agus harus pulang ke rumah, ia belum shalat Dzuhur. Ia tak rela, shalatnya harus dikorbankan untuk persoalan yang tidak jelas. 

***
“Ah masa, Gus? Perasaan, kami tidak pernah mewakilkan suara kami pada siapa pun. Kami tidak tahu ada proyek penebangan. Kami tidak tahu ada bantuan ke madrasah dari proyek itu. Kami hanya tahu, Pak Kuwu bijaksana. Juragan Karta semakin dermawan,” jawab seorang warga, ketika ditanya soal yang terjadi tadi siang. 

Memang, Agus sering berbincang dengan warga.  Baik persoalan desa, agama, bahkan persoalan pribadi. Ia merasa lebih tentram. Lebih nyaman dan tenang. Terkadang, ia merasa kasihan pada warga. Setelah ia tahu, bahwa ketulusan, keluguan, ketaatan, dan kebaikan warga desa, hanya dimanfaatkan untuk kesejahteraan sekelompok orang. Memuaskan syahwat politik dan kekuasaan.

“Inilah, aku terjebak antara apa yang akan kulakukan, dengan budaya busuk yang telah menggurita,” gumam Agus sambil menarik nafas dalam-dalam.

Mimpi untuk membangun desanya, terpaksa harus ia tunda. Agus memutuskan pergi ke kota, menerima tawaran kerja pada sebuah perusahaan swasta.

Salawu, 18 Nopember 2012 

*Kisah ini hanya fiksi biasa. Mohon maaf jika ada berbagai kesamaan. Itu hanya kebetulan saja.

Gambar diambil di sini

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi Kelas 9

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 akan penulis bagikan secara gratis. Pengunjung dapat langsung mendownload RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 dan RPP Selembar Kurikulum 2013 bagi kelas 9, pada link yang sudah disediakan di bagian bawah artikel ini. 

Ringkasan PAI SMP Kelas 9 Lengkap

Pada postingan ini akan dibagikan informasi mengenai materi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi kelas 9 SMP secara lengkap. Dari mulai bab pertama sampai dengan terakhir, sesuai dengan yang tercantum dalam buku paket siswa dan Kompetensi Dasar yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk menuju materi yang dimaksud, bisa langsung diklik dalam daftar isi berikut ini: Bab 1 Meyakini Hari Akhir, Mengakhiri Kebiasaan Buruk Bab 2 Jujur dan Menepati Janji Bab 3 Menuai Keberkahan dengan Rasa Hormat dan Taat kepada Orang Tua dan Guru Bab 4 Zakat Fitrah dan Zakat Mal Bab 5 Dahsyatnya Persatuan dalam Ibadah Haji dan Umrah Bab 6 Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara Bab 7 Meraih Kesuksesan dengan Optimis, Ikhtiar dan Tawakal Bab 8 Beriman kepada Qada' dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati Bab 9 Mengasah Pribadi yang Unggul dengan Tata Krama, Santun, dan Malu Bab 10 Menyayangi Binatang dalam Syariat Penyembelihan Bab 11 Akikah dan Kurban Menumbuhkan Kepedulian Umat  Bab 12 Menelusuri Tradisi...

Materi PAI SMP Kelas 9: Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara

1. Peta Konsep 2. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu: a. Menjelaskan tradisi  Nusantara sebelum Islam dengan benar. b. Menjelaskan Akulturasi budaya Islam dengan benar. c. Menjelaskan cara melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan benar. d. Mengambil hikmah mempelajari tradisi Islam Nusantara dengan benar. e. Berperilaku melestarikan tradisi Islam Nusantara dalam kehidupan seharihari dengan benar.