"Sebesar apa pun
tuntutan akan tingkat kelulusan, jangan sampai mengotori nilai-nilai ideal
pendidikan..."
Ujian Nasional (UN) senantiasa menarik untuk diperbincangkan. Hampir semua elemen masyarakat, ikut tersita perhatiannya oleh salah satu hajat tahunan Pendidikan Nasional kita ini. Baik mereka yang langsung berkecimpung dalam dunia pendidikan, maupun mereka yang hanya memposisikan diri sebagai pengamat, senantiasa larut dalam pembicaraan rutinitas ini beserta segala sisinya.
Ujian Nasional (UN) senantiasa menarik untuk diperbincangkan. Hampir semua elemen masyarakat, ikut tersita perhatiannya oleh salah satu hajat tahunan Pendidikan Nasional kita ini. Baik mereka yang langsung berkecimpung dalam dunia pendidikan, maupun mereka yang hanya memposisikan diri sebagai pengamat, senantiasa larut dalam pembicaraan rutinitas ini beserta segala sisinya.
Setiap menjelang bulan Maret-April, Ujian
Nasional digelar. Beragam persiapan dilaksanakan. Panitia Penyelenggara, baik dari tingkat satuan pendidikan
(Sekolah/Madrasah/Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat/dan sebagainya) sampai
Panitia di Pemerintah Pusat, sudah demikian sibuk menyiapkan segalanya.
Bagi satuan pendidikan (selanjutnya
saya istilahkan dengan sekolah), selain melakukan persiapan penyelenggaraan,
ada hal lain yang lebih menyita perhatian, yakni kelulusan peserta didik di
sekolah mereka. Sehingga, menuntut mereka untuk mencari beragam strategi jitu
yang dianggap mampu meluluskan peserta didik seratus persen.
Mau tidak mau, sekolah harus bekerja
keras untuk meluluskan peserta didik mereka. Karena, tingkat kelulusan Ujian
Nasional suatu sekolah, akan sangat berpengaruh pada prestise sekolah tersebut.
Masyarakat akan menaruh kepercayaan lebih, bagi sekolah yang peserta didiknya lulus
seratus persen. Sebaliknya, kepercayaan masyarakat akan terkikis oleh tingginya
jumlah ketidaklulusan peserta didik suatu sekolah. Demikian pula dengan
pemerintah, yang akan memberikan penghargaan lebih kepada sekolah-sekolah yang
lulus seratus persen dengan nilai memuaskan.
Sebagaimana tercantum dalam
Prosedur Operasi Standar Ujian Nasional (POS UN) yang dikeluarkan oleh
Badan Standar Nasional Pendidikan, bahwa Ujian Nasional merupakan kegiatan
pengukuran dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan suatu satuan pendidikan
secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Meski tidak menjadi satu-satunya
syarat kelulusan seorang peserta didik, tetapi Ujian Nasional mendapat
perhatian khusus dari semua kalangan. Siswa misalnya, mereka seolah akan
menghadapi timbangan amal selama belajar di suatu sekolah. Yang mana, timbangan
itu akan menjadi penentu, apakah mereka layak mendapatkan predikat LULUS?
Sehingga meraih segala penghargaan dan jaminan masa depan. Atau sebaliknya,
mereka akan terjerembab dalam keterpurukan, karena gagal menjawab soal-soal
dalam timbangan amal.
Dinamika inilah, yang terkadang
membuka potensi untuk melakukan berbagai penyelewengan, kecurangan dan
ketidakjujuran. Semua pihak tidak ingin menjadi bulan-bulanan atasan, karena
gagal menyukseskan Ujian Nasional. Siswa bertanggungjawab pada guru dan
orangtuanya. Guru, harus mempertanggungjawabkan siswanya kepada kepala sekolah.
Kepala sekolah, seolah mendapat tekanan dari Yayasan penyelenggara atau Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota. Demikian seterusnya.
Hemat penulis, sebesar apa pun
tuntutan akan tingkat kelulusan, jangan sampai mengotori nilai-nilai ideal
pendidikan. Ujian Nasional yang seharusnya mampu menjadi salah satu tolak ukur
keberhasilan suatu lembaga pendidikan, jangan sampai malah menjadi ajang
terjadinya berbagai pelanggaran. Terlalu menyakitkan, jika segala pengorbanan
biaya, tenaga, dan pikiran yang telah dikorbankan untuk penyelenggaraan Ujian
Nasional, hanya menyisakan dusta dan kepalsuan.
Di tengah bangsa kita yang sedang mengalami krisis kejujuran, sekolah harus mampu menjadi yang
terdepan memperjuangkan kejujuran. Sudah selayaknya, sekolah dan seluruh
komponen di dalamnya berjuang mati-matian mempertahankan kejujuran. Sehingga,
dengan segala usaha yang ideal, diharapkan akan mampu melahirkan generasi yang
ideal pula.
Tentu sangat tidak kita harapkan,
bahwa sekolah malah mengajarkan ketidakjujuran pada peserta didiknya, hanya
untuk meraih prestise kelulusan Ujian Nasional. Guru yang sejatinya menjadi
tauladan utama bagi muridnya, jangan sampai ternodai oleh usaha kotor
meluluskan peserta Ujian Nasional.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?