Selain Minggu, tanggal
merah di Bulan Juni 2013, hanya satu hari. Ya, kita hanya akan mendapat libur untuk "memperingati" Isra Mi'raj. Memang, negara kita sudah
memberi kesempatan bagi warganya, untuk melakukan semacam peringatan terhadap
peristiwa bersejarah tersebut. Pertanyaannya, sudah sejauh mana dampak ritual ini
bagi kualitas kehidupan kita, baik sebagai warga negara maupun sebagai umat beragama? Karena libur Isra Mi'raj, sudah diberikan puluhan kali.
Seperti ritual keagamaan dalam Islam pada umumnya, peringatan Isra Mi’raj tidak boleh hanya berkutat dalam hingar bingar rangkaian acara tertentu. Tetapi, lebih dari itu, nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa ini harus mampu kembali dihidupkan. Jika sejarawan mengungkapkan, bahwa peristiwa Isra Mi’raj telah menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan dakwah Nabi Muhammad saw waktu itu, maka rangkaian peringatan terhadap peristiwa bersejarah ini, harus mampu melahirkan solusi bagi problematika umat masa kini.
Sejarah mencatat, bahwa ada beberapa peristiwa penting
yang disebut-sebut melatarbelakangi Isra dan Mi’raj. Pertama, boikot
yang dilakukan kaum Quraisy terhadap keluarga Bani Hasyim. Mereka sepakat untuk
tidak berhubungan dengan Bani Hasyim. Seperti tidak mengadakan perkawinan, jual
beli, menjenguk yang sakit, mengantarkan yang meninggal, bahkan berbicara
sekalipun. Kejadian ini mampu mendatangkan penderitaan bagi keluarga Bani
Hasyim, khususnya Nabi Muhammad saw.
*) Muat di Kabar Priangan edisi 7 Juli 2012
Seperti ritual keagamaan dalam Islam pada umumnya, peringatan Isra Mi’raj tidak boleh hanya berkutat dalam hingar bingar rangkaian acara tertentu. Tetapi, lebih dari itu, nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa ini harus mampu kembali dihidupkan. Jika sejarawan mengungkapkan, bahwa peristiwa Isra Mi’raj telah menjadi salah satu solusi dalam menjawab tantangan dakwah Nabi Muhammad saw waktu itu, maka rangkaian peringatan terhadap peristiwa bersejarah ini, harus mampu melahirkan solusi bagi problematika umat masa kini.
Kedua, wafatnya Abu Thalib, paman Nabi Muhammad
saw. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam perjalanan dakwah beliau.
Karena Abu Thalib adalah salah satu sosok yang melindungi Muhammad saw.
Ketiga, wafatnya istri beliau, Khadijah r.a. Dan,
peristiwa ini terjadi tiga hari setelah wafatnya Abu Thalib. Sebagai manusia
biasa, ditinggalkan oleh dua sosok terdekat merupakan kenyataan berat yang
harus dihadapi. Bahkan, keduanya bukan hanya sebagai keluarga dekat saja,
tetapi menjadi sosok penting dalam perjuangan dakwah beliau.
Tiga peristiwa yang terjadi secara berurutan ini, sangat
berpengaruh terhadap Rasulullah saw, serta menjadi tantangan tersendiri bagi
dakwah beliau. Sehingga, para sejarawan menamai tahun ini dengan amul hujn (tahun
kesedihan).
Pada kondisi inilah, Nabi Muhammad saw diundang oleh
Allah swt melalui peristiwa Isra dan Mi’raj. Yakni diperjalankannya Nabi saw
dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqso (Q.S. Al Isra,17:1), serta dinaikkannya
beliau dari Masjidil Aqso sampai Sidrotul Muntaha (Q.S. An-Najm, 53:1).
Isra Mi’raj menjadi pengalaman keagamaan yang sangat
berharga bagi Nabi Muhammad saw. Puncaknya terjadi ketika beliau sampai ke Sidratul
Muntaha. Yang menurut Muhammad Asad, Sidratul Muntaha ditafsirkan
sebagai lote-free farthest limit (pohon lotus yang batasnya paling
jauh). Dalam tradisi Mesir kuno, pohon lotus merupakan simbol kebijaksanaan.
Sehingga, secara simbolik Sidrotul Muntaha diartikan sebagai puncak
kebahagiaan dan kebijaksanaan.
Kebahagiaan yang disertai dengan kebijaksanaan inilah,
yang seharusnya kita miliki. Kebahagiaan yang tidak membuat kita lupa diri.
Seperti yang diungkap para sufi, bahwa pengalam keagamaan Nabi Muhammad saw
yang telah mencapai Sidratul Muntaha dan bertemu langsung dengan Allah
swt, merupakan puncak kenikmatan. Sehingga, seandainya yang mengalami hal
tersebut adalah manusia biasa, maka dapat dipastikan tidak akan kembali ke
bumi, kembali pada kenyataan yang penuh dengan persoalan dan tantangan. Tetapi
tidak demikian halnya dengan Muhammad saw, kebahagiaan dan kedamaian tersebut,
tidak membuatnya lupa pada tugas utamanya untuk menebar rahmat Allah swt.
Hemat penulis, hal ini menjadi salah satu pelajaran
berharga bagi kita sebagai umatnya. Bahwa Islam tidak mengajarkan kehidupan
yang sangat individualistis (mementingkan diri sendiri), tetapi sangat
mengedepankan semangat kepedulian sosial. Kita tidak boleh hanya memikirkan
kebahagian dan surga untuk diri sendiri serta golongan, tetapi harus peduli dan
tidak melupakan nasib sesama; apa pun posisi kita.
Semangat ini pula yang dibawa dalam shalat. Ritual
keagamaan yang diperintahkan langsung kepada Nabi Muhammad saw dalam peristiwa
Isra Mi’raj ini, memiliki dimensi individual dan sosial.
Seperti yang kita ketahui, bahwa tujuan utama shalat
adalah berdzikir (mengingat) kepada Allah swt (Q.S. Thaha, 20:14). Dzikir atau
shalat yang dilakukan dengan khusyu akan mendatangkan ketentraman jiwa
serta kebahagiaan hidup (Q.S. Ar-Ra’du, 13:28; Q.S. Al-Mu’minun, 23:1-2). Namun
demikian, keberhasilan shalat seseorang tidak hanya untuk dirinya saja; tidak
hanya untuk melahirkan ketentraman dan kebahagiaan bagi dirinya. Tetapi, shalat
seseorang harus menimbulkan atsar (bekas) bagi perilaku sosialnya.
Al-Quran menjelaskan, bahwa shalat yang benar akan
menumbuhkan berbagai macam kebajikan. Seperti tumbuhnya kesadaran berinfaq,
berzakat, menghindarkan diri dari zina dan perilaku sia-sia, serta menjaga
amanat baik dari Allah swt maupun sesama manusia (QS. Al-Mu’minun, 23:3-8).
Orang yang telah melaksanakan shalat dengan baik, juga
diharapkan akan mampu terhindar dari sifat kikir serta berkeluh kesah, tidak
melaksanakan perbuatan keji dan tercela (QS. Al-Ma’arij, 70:19-25; QS.
Al-Ankabut, 29:45). Bahkan, Rasulullah saw pernah mengingatkan, bahwa shalat
yang tidak mampu mencegah perbuatan keji dan munkar, tidak akan menambah
apa-apa kecuali hanya semakin menjauhkan diri pelakunya dari Allah swt (H.R
Ahmad).
Dengan demikian, peringatan Isra Mi’raj harus melahirkan
kesadaran akan meningkatnya keshalehan individu dan kepedulian sosial. Ritual
ini juga harus mampu meningkatkan optimisme hidup untuk menghadapi segala
tantangan zaman, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
Kondisi seburuk apa pun, bukanlah akhir dari segalanya. Allah swt akan
senantiasa menjadi sumber kebahagiaan hakiki dan tempat menggantungkan harapan.
Dan, shalat yang menjadi “oleh-oleh” Isra Mi’raj adalah salah satu media untuk
berkomunikasi dengan-Nya.
Ternyata, Isra Mi’raj
sangat kental dengan pesan-pesan yang membumi. Peristiwa ini menyimpan
nilai-nilai yang luar biasa untuk mengarungi kehidupan, sebagai bekal untuk
bertemu dengan-Nya kelak. Wallohu A’lam *) Muat di Kabar Priangan edisi 7 Juli 2012
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?