Gambar dari sini |
Dalam perjalanan inilah, pandanganku kerap kali terganggu. Hampir tiap
sepuluh meter, photo besar dengan beragam ekspresi, berjejer sepanjang jalan. Bagai
rentetan baliho tujuh belasan. Semua menjajakan ungkapan menarik dan
menjanjikan, lengkap dengan sunggingan senyum agak menyakitkan. Aih, aku
lupa. Konon, mereka itulah harapan kita. Di atas pundak merekalah, nasib kita
digantungkan. Dalam saku saparinya, harapan kita dititipkan. Percaya atau
tidak, begitulah adanya.
Aku sempat berpikir, benarkah janji kemerdekaan itu akan mereka
wujudkan?
Pikiranku
sejenak menerawang jauh. Mencoba memutar rekaman ceramah orang-orang pintar. Membuka
halaman-halaman buku yang pernah aku baca. Sontak aku ingat sesuatu, tentang
kondisi nyata negeri ini. Dengan sistem presidensial-multipartai yang dianut,
Scott Mainwaring (1993) sempat berpesan,
bahwa hal ini akan berimplikasi pada beberapa hal. Pertama, tiadanya
kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen mengakibatkan deadlock.
Realitas ini memberi peluang bagi DPR ”mengganggu” Presiden yang mendorong
munculnya konflik antara kedua lembaga.
Kedua, dibandingkan dengan sistem dua partai, sistem multipartai rentan
melahirkan polarisasi ideologis. Ketiga, koalisi permanen antarpartai
lebih sulit dibentuk dalam sistem presidensial ketimbang parlementer.
Halah aku tidak terlalu paham analisa itu. Tapi setidaknya, aku sering
menonton di TV, bahwa yang mulia Pak Presiden kerap dibuat bingung dalam
mengambil kebijakan. Rayuan serta ancaman aneka partai, tidak jarang menjadi
hambatan.
Oh ya, aku sempat membaca celotehan seorang pengamat, bahwa hal
itu pula yang telah membuka peluang perselingkuhan, baik di kalangan elit
maupun akar rumput. Seringkali perselingkuhan ini dibangun di atas landasan
pragmatisme dan pertukaran kepentingan ekonomi-politik serta umpan balik
negatif. Hubungan elit politik dengan konstituen yang dirusak oleh transaksi
material, bukan pertukaran gagasan. Hubungan antarelit politik juga didominasi
nafsu purba: “who gets what, when, and how.”
Aduh, aku makin pusing. Lagian, ngapain mikir hal-hal demikian.
Tugasku sederhana: kerja banting tulang untuk sesuap nasi, lima tahun sekali menjatuhkan
pilihan, lalu manggut setia. Persoalanku juga sederhana, hanya seputar naiknya
harga bensin Si Jagur, harga makanan kantin yang terus meningkat. Atau
kelimpungan tidak bisa makan jengkol, tahu dan tempe yang sudah puluhan tahun
dinikmati.
Agaknya benar, perselingkuhan itu berbahaya. Setidaknya, ia telah
berdampak langsung pada Si Jagur: bensinnya terus melambung. Lalu, Si Jagur
berkomentar, “Kecil harapan kita pada orang-orang dalam photo itu. Karena pada
akhirnya, orang-orang berduitteballah yang akan bersinggasana. Persetan, apakah
ia berprestasi atau tidak.”
Salawu, 11 September 2013
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?