Tanggal 28
Oktober senantiasa diistimewakan bangsa kita. Karena dibalik tanggal ini,
bertengger kisah ikrar kaum muda bangsa kita, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Kisah yang diakui sejumlah pihak, mampu mengabarkan pelajaran
tak terukur. Sebuah kisah yang menjadi terlalu sederhana jika
sekadar diperingati.
Sumpah
Pemuda menjadi bagian penting dari pondasi kokohnya bangunan keindonesiaan. Ia merupakan
salah satu pijakan kuat bagi perjalanan bangsa bernama Indonesia. Sejarah manis
yang telah melahirkan semangat luar biasa. Yang mana, sampai hari ini, semangat
yang dibangun para pendahulu kita itu, masih terekam kuat dalam ingatan, dan
akan senantiasa terukir dengan jelas dalam catatan sejarah bangsa kita.
Seperti
yang sudah kita kenal, masa 1920-an sering dikenang sebagai tahun-tahun yang
mendebarkan. Saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda di berbagai
daerah, tengah gencar dilakoni dalam berbagai cara dan bentuk.
Gerakan
intelektual bermunculan, melalui berdirinya aneka kelompok studi. Misalnya
Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-Club), yang dibentuk di
Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kelompok Studi Umum (Algemeene
Studie-Club) tahun 1925, oleh para nasionalis dan mahasiswa di Bandung yang
dimotori oleh Soekarno. Demikian juga dengan pemberontakan, seperti yang
dilakukan oleh PKI (di Banten, Jakarta, dan Jogjakarta) tahun 1926, dan juga di
Sumatra Barat tahun 1927.
Perjuangan
anti-kolonialisme ini, sontak membuat penjajah Belanda kebakaran jenggot.
Sehingga, mereka melakukan reaksi seperti penangkapan dan memenjarakan para
pejuang kemerdekaan.
Fenomena
ini, kemudian menumbuhkan kesadaran politik di berbagai golongan masyarakat
pribumi. Terutama, kesadaran dari para pemuda untuk mulai mengatasi masalah kedaerahan
dan kesukuan, yang sebelumnya masih kental dan tercecer. Hal ini dilakukan, demi
terbangunnya persatuan Indonesia yang lebih besar melawan penjajah.
Adalah Kongres
Pemuda ke-II, yang dimotori PPPI (Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia), pada tanggal
27-28 oktober 1928, yang menyambut situasi ini. Dalam peristiwa ini, ikrar
pemuda lahir untuk memompa kekuatan perlawanan. Yang kemudian, dikenal dengan
hari besar sumpah pemuda.
Tidak salah
lagi, kesadaran keindonesiaan inilah, yang menjadi kekuatan besar dan mampu
membentuk identitas kaum pribumi. Identitas yang kemudian terpancang kuat,
sekaligus menjadi modal utama dalam menyingkirkan penjajahan. Sehingga, pada
akhirnya kalimat juang mendapatkan kekuatan terbesar dan makna terdalam, yakni
berupa kemerdekaan di tahun 1945.
Menggali Pelajaran
Soekarno
pernah mengingatkan sejak lama. Bahwa, jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi
warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekedar mewarisi abu, kita akan puas dengan
Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa, dan tanah air. Padahal, ini
bukan tujuan akhir.
Konteks
persoalan bangsa hari ini, tentu jauh berbeda dengan apa yang terjadi di masa
silam. Namun, dibalik perbedaan latar yang tampak, rangkuman teladan dan hikmah
dari Sumpah Pemuda sangat menjanjikan. Ikrar dari segenap pemuda ketika itu,
tegas mengggariskan batas perlawanan melalui bersatunya tanah, bangsa dan
bahasa (ke-Indonesia-an). Dimana, sebuah hikmah tentang nasionalisme,
dipancangkan demi bangunan Indonesia, kala itu.
Dengan kata
lain, ke-Indonesia-an yang dibangun melalui sumpah pemuda, dan diteruskan
dengan upaya mengokohkan jati diri bangsa melalui pendasaran Pancasila (dalam
masa kemerdekaan), tak terbantahkan merupakan fondasi yang dibuat kokoh para
penyuluh zaman, demi bangunan Indonesia di masa depan.
Persoalannya
kemudian, semangat yang sudah dibangun sejak lama, kini telah dilumuri dengan
kebanggaan akan tren dari luar, yang melebihi kebanggaan akan warisan leluhur
sendiri. Sehingga, muncul ungkapan, kalau mau melihat yang baik-baik dan bagus-bagus
maka lihatlah “ke luar”. Dan sebaliknya, kalau mau melihat yang buruk-buruk,
lihatlah “kedalam”.
Penulis
sempat tercengang, ketika ngobrol dengan seorang kawan yang baru pulang bekerja
dari Korea Selatan. Di sana, warga begitu bangga dengan apa yang dihasilkan
bangsa sendiri. Baik berupa kebudayaan, produk elektronik, pakaian, makanan dan
sejenisnya. Sehingga mampu mengantarkan mereka untuk berbicara banyak di kancah
dunia. Hal ini agak terbalik dengan apa yang terjadi di negeri kita. Kebanggaan
justru muncul, ketika menggunakan “merek” asing. Produk bangsa kita, baik
kebudayaan, pengetahuan, elektronik, dan yang lainnya, seolah sudah menjadi
tamu di negeri sendiri.
Hemat
penulis, momentum peringatan Sumpah Pemuda, merupakan saat yang tepat untuk
kembali menanamkan jati diri bangsa kita. Jati diri yang akan membuat kita
lekas dikenal sebagai sebuah bangsa.
Tanpa itu,
ke-Indonesia-an yang sudah dibangun sejak lama tetaplah menjadi fondasi semata,
di atasnya bangunan bangsa rapuh dan terancam rubuh. Limpahan sumber daya alam
berbanding lurus dengan beban hutang, dan sumber daya manusia yang ruah mesti
pasrah menjadi buruh dan konsumen produk-produk bangsa lain. Terlebih, jika
sifat-sifat “penjilat” yang berani mengorbankan bangsa sendiri pada berbagai berhala
–termasuk bangsa asing-, demi memperoleh keuntungan pribadi masih dirawat.
Maka, mau
tidak mau, semangat Sumpah Pemuda harus dihidupkan kembali. Komitmen untuk
bersatu, cinta tanah air, serta penanaman jati diri bangsa harus lebih
dipancangkan. Karena, meski sudah berubah wujud, penghalang bagi kemerdekaan
hakiki bangsa ini, masih berdiri dengan kokoh. Seperti pusaran korupsi yang
terus menggerogot, para pemburu kekayaan yang gencar berlomba membentuk
oligarki, serta bangunan persoalan lain yang menanti untuk dirobohkan.
Semoga,
semangat Sumpah Pemuda tidak berhenti dalam
rangkaian peringatan. Tetapi mampu meresap ke dalam seluruh sendi kehidupan
bangsa kita, serta membakar semangat perlawanan terhadap segala macam tirani.
Teks Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda dikenal sebagai sebuah kesepakatan yang dicapai para peserta Kongres Pemuda II. Rumusan hasil dan teks Sumpah Pemuda asli berbunyi sebagai berikut:
Poetoesan Kongres Pemoeda-Pemoeda Indonesia
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang berdasarkan dengan nama Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di negeri Djakarta. Sesoedahnja mendengar segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini. Kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan asas ini wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan-perkoempoelan kebangsaan Indonesia.
Mengeloearkan kajakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar poetoesannja:
Kemajoean
Sedjarah
Bahasa
Hoekoem Adat
Pendidikan dan Kepandoean
Dan mengeloearkan penghargaan soepaja ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan dimoeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan.
Djakarta, 28 Oktober 1928
Teks Sumpah Pemuda yang kemudian populer di masyarakat adalah tiga pernyataan yang dihasilkan oleh para pemuda dalam rumusan hasil Kongres Pemuda II tersebut.
Tulisan ini pernah muat di Kabar Priangan edisi 28 Oktober 2013, dengan judul "Sumpah Pemuda, Bukan Sekadar Peringatan.
Bagi yang kebetulan akan bertugas menjadi pembaca doa dalam peringatan Sumpah Pemuda, bisa membaca dalam tulisan contoh doa Sumpah Pemuda berikut ini.
Bisa juga baca di sini.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?