Masa pelaksanaan ibadah haji tahun ini telah berakhir. Para jamaah dari seluruh pelosok dunia mulai meninggalkan Mekah untuk kembali ke daerah masing-masing, termasuk Indonesia. Mereka akan kembali bersua dengan beragam kegiatan hidup seperti sebelumnya. Aneka ritual haji dan berbagai kebiasaan yang dilakukan dalam kurun waktu selama kurang lebih dua bulan, akan segera ditinggalkan.
Suka tidak suka, senang tidak senang, kesibukan hidup yang biasa dihadapi sebelum berangkat haji, akan segera menghampiri dan menunggu untuk diselesaikan. Waktu dan konsentrasi yang biasa dikhususkan untuk ibadah haji, akan dibagi lagi dengan tuntutan menunaikan kewajiban lain. Baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga, tetangga, pekerjaan, sesama, bahkan negara.
Hemat saya, di sinilah salah satu tempat untuk mengukur capaian selama ibadah haji. Sejauh mana dampak positif penyempurna rukun Islam yang sudah ditunaikan ini, terhadap kualitas hidup sesudahnya. Apakah kemudian mengalami peningkatan, sama dengan sebelum haji, atau bahkan mengalami penurunan?
Ibadah yang hanya diwajibkan pada mereka yang sudah mencapai kemampuan tertentu –baik kemampuan finansial maupun kemampuan lainnya- ini, sudah selayaknya memiliki dampak positif pada pelakunya. Mereka yang sudah menunaikan kewajiban ini, harus mampu meningkatkan kualitas hubungan dengan Tuhannya, serta mampu memperbaiki hubungan kemanusian yang dibangun dengan sesama.
Sebagaimana yang diungkap Quraish Shihab (2000), pada hakikatnya, ibadah haji merupakan penegasan kembali terhadap prinsip-prinsip keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim as., sebagai salah satu sosok yang layak diteladani oleh seluruh manusia (Q.S Al-Baqarah (2):124). Yakni: pertama, pengakuan terhadap keesaan Tuhan serta penolakan terhadap berbagai macam dan bentuk kemusyrikan. Baik pada matahari, bulan, bintang, maupun kemusyrikan pada berhala yang dibuat sendiri seperti kekuasaan, jabatan, dan kekayaan.
Kedua, keyakinan terhadap adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini. Dan puncaknya akan dialami oleh seluruh manusia di akhirat, kelak.
Ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal. Kendati terdapat beragam perbedaan dalam hal-hal tertentu, seperti warna kulit, ras, suku, dan sejenisnya, tetapi tidak lantas memengaruhi derajat kemanusiaan secara substantif serta kualitas masing-masing di hadapan penilaian Tuhan. Semua memiliki derajat dan kesempatan yang sama untuk memperoleh capaian tertinggi dalam hidup, yakni keridhoan Tuhan. Ada pun yang mampu membedakan masing-masing pribadi, hanyalah kualitas ketaqwaannya.
Hal ini tercermin dengan jelas dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan pada ibadah haji. Dari mulai niat dan pemakaian kain ihram, thawaf, sampai kegiatan terakhir, mengandung nilai-nilai ideal, yang jika ditela’ah dengan seksama, akan menghapus seluruh sifat jelek manusia, menggali potensi baik yang dimiliki manusia –baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kehidupan sosial-, yang dikerucutkan dalam tiga keyakinan tadi. Yakni keyakinan mengenai keesaan Tuhan, neraca keadilan Tuhan, dan nilai kemanusiaan universal.
Umat Islam yang sudah bergelar “haji”, diharapkan mampu memberikan sumbangsih tersendiri bagi tata kelola kehidupan kita. Memiliki kepribadian ideal yang sudah lepas dari ego kesukuan, kekayaan, jabatan, dan sejenisnya. Pribadi yang mampu menebar semangat kekeluargaan dalam mencapai tujuan bersama. Baik dalam tatanan agama (ukhuwah diniyah), negara (ukhuwah wathoniyah), maupun kemanusiaan (ukhuwah insaniyah). Sosok indah yang sudah memperoleh kearifan.
Seperti menurut Ibnu Sina, apabila kearifan sudah menghiasi seseorang, maka ia akan senantiasa gembira dan menggembirakan. Tidak akan mengintip dan mencari kesalahan orang lain. Memandang dan memosisikan semua orang dengan derajat yang sama, karena sama-sama membutuhkan Allah swt. Tidak mudah tersinggung, karena hatinya diliputi rahmat dan kasih sayang Allah swt.
Jika demikian, gelar yang diperoleh dengan susah payah ini, akan disematkan oleh masyarakat dengan penuh pemaknaan serta memiliki tempat istimewa. Bukan gelar buatan yang hampa makna, apalagi hanya disimpan untuk kepentingan memuaskan syahwat tertentu.
Kita sangat berharap, meningkatnya jumlah umat bergelar haji (jika boleh dikatakan gelar), diiringi dengan peningkatan kualitas kehidupan kita. Bayang-bayang surga yang dibebankan Tuhan dalam tugas kekhalifahan manusia segera berwujud. Kemiskinan menurun, korupsi terkikis, serta kejahatan menghilang. Wajar, Nabi menjanjikan surga bagi mereka yang sudah mencapai derajat haji mabrur. Mungkin, salah satu maknanya mampu menampilkan kehidupan yang setidaknya mendekati bayang-bayang surga di muka bumi.
Memang, idealnya, semakin bertambah jumlah umat yang bergelar haji, maka bertambah pula orang-orang yang memiliki derajat saleh. Gelar haji, bukan gelar yang melambangkan status sosial tertentu, atau tingkat ekonomi tertentu yang kemudian melahirkan kesombongan baru. Tetapi, haji –dalam hal ini gelar orang yang sudah menunaikan ibadah haji- seharusnya menjadi salah satu simbol dari pribadi yang sudah mencapai derajat kesalehan ideal. Mampu menampilkan perilaku yang memiliki padanan dengan nilai-nilai berbagai ritual haji yang sudah ditunaikan.
Dengan demikian, tidak terlalu menggembirakan dan tidak elok disaksikan. Jika peningkatan jumlah antrian haji, diimbangi dengan tingginya jumlah pengantri BLT (bantuan langsung tunai sebagai simbol kemiskinan), pengangguran, apalagi antrian masuk jeruji besi dan ruang tahanan.
Seharusnya, dengan gelar haji, seseorang mau berbagi. Dengan gelar haji, malu korupsi. Dengan gelar haji, meningkat kualitas ibadah. Baik ibadah yang bersifat langsung (mahdloh), maupun melalui perantara (ghoir mahdloh). Jangan sampai terjadi, gelar diulang dua kali sebagaimana yang biasa diberikan masyarakat Sunda. Seperti, haji-haji tapi korupsi (sudah haji, koq korupsi), haji-haji cetri (sudah haji, koq pelit), haji-haji tara salat (sudah haji, koq tidak shalat) dan sejenisnya.
Suka tidak suka, senang tidak senang, kesibukan hidup yang biasa dihadapi sebelum berangkat haji, akan segera menghampiri dan menunggu untuk diselesaikan. Waktu dan konsentrasi yang biasa dikhususkan untuk ibadah haji, akan dibagi lagi dengan tuntutan menunaikan kewajiban lain. Baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga, tetangga, pekerjaan, sesama, bahkan negara.
Hemat saya, di sinilah salah satu tempat untuk mengukur capaian selama ibadah haji. Sejauh mana dampak positif penyempurna rukun Islam yang sudah ditunaikan ini, terhadap kualitas hidup sesudahnya. Apakah kemudian mengalami peningkatan, sama dengan sebelum haji, atau bahkan mengalami penurunan?
Ibadah yang hanya diwajibkan pada mereka yang sudah mencapai kemampuan tertentu –baik kemampuan finansial maupun kemampuan lainnya- ini, sudah selayaknya memiliki dampak positif pada pelakunya. Mereka yang sudah menunaikan kewajiban ini, harus mampu meningkatkan kualitas hubungan dengan Tuhannya, serta mampu memperbaiki hubungan kemanusian yang dibangun dengan sesama.
Sebagaimana yang diungkap Quraish Shihab (2000), pada hakikatnya, ibadah haji merupakan penegasan kembali terhadap prinsip-prinsip keyakinan yang dianut oleh Nabi Ibrahim as., sebagai salah satu sosok yang layak diteladani oleh seluruh manusia (Q.S Al-Baqarah (2):124). Yakni: pertama, pengakuan terhadap keesaan Tuhan serta penolakan terhadap berbagai macam dan bentuk kemusyrikan. Baik pada matahari, bulan, bintang, maupun kemusyrikan pada berhala yang dibuat sendiri seperti kekuasaan, jabatan, dan kekayaan.
Kedua, keyakinan terhadap adanya neraca keadilan Tuhan dalam kehidupan ini. Dan puncaknya akan dialami oleh seluruh manusia di akhirat, kelak.
Ketiga, keyakinan tentang kemanusiaan yang bersifat universal. Kendati terdapat beragam perbedaan dalam hal-hal tertentu, seperti warna kulit, ras, suku, dan sejenisnya, tetapi tidak lantas memengaruhi derajat kemanusiaan secara substantif serta kualitas masing-masing di hadapan penilaian Tuhan. Semua memiliki derajat dan kesempatan yang sama untuk memperoleh capaian tertinggi dalam hidup, yakni keridhoan Tuhan. Ada pun yang mampu membedakan masing-masing pribadi, hanyalah kualitas ketaqwaannya.
Hal ini tercermin dengan jelas dalam rangkaian kegiatan yang dilakukan pada ibadah haji. Dari mulai niat dan pemakaian kain ihram, thawaf, sampai kegiatan terakhir, mengandung nilai-nilai ideal, yang jika ditela’ah dengan seksama, akan menghapus seluruh sifat jelek manusia, menggali potensi baik yang dimiliki manusia –baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari kehidupan sosial-, yang dikerucutkan dalam tiga keyakinan tadi. Yakni keyakinan mengenai keesaan Tuhan, neraca keadilan Tuhan, dan nilai kemanusiaan universal.
Umat Islam yang sudah bergelar “haji”, diharapkan mampu memberikan sumbangsih tersendiri bagi tata kelola kehidupan kita. Memiliki kepribadian ideal yang sudah lepas dari ego kesukuan, kekayaan, jabatan, dan sejenisnya. Pribadi yang mampu menebar semangat kekeluargaan dalam mencapai tujuan bersama. Baik dalam tatanan agama (ukhuwah diniyah), negara (ukhuwah wathoniyah), maupun kemanusiaan (ukhuwah insaniyah). Sosok indah yang sudah memperoleh kearifan.
Seperti menurut Ibnu Sina, apabila kearifan sudah menghiasi seseorang, maka ia akan senantiasa gembira dan menggembirakan. Tidak akan mengintip dan mencari kesalahan orang lain. Memandang dan memosisikan semua orang dengan derajat yang sama, karena sama-sama membutuhkan Allah swt. Tidak mudah tersinggung, karena hatinya diliputi rahmat dan kasih sayang Allah swt.
Jika demikian, gelar yang diperoleh dengan susah payah ini, akan disematkan oleh masyarakat dengan penuh pemaknaan serta memiliki tempat istimewa. Bukan gelar buatan yang hampa makna, apalagi hanya disimpan untuk kepentingan memuaskan syahwat tertentu.
Kita sangat berharap, meningkatnya jumlah umat bergelar haji (jika boleh dikatakan gelar), diiringi dengan peningkatan kualitas kehidupan kita. Bayang-bayang surga yang dibebankan Tuhan dalam tugas kekhalifahan manusia segera berwujud. Kemiskinan menurun, korupsi terkikis, serta kejahatan menghilang. Wajar, Nabi menjanjikan surga bagi mereka yang sudah mencapai derajat haji mabrur. Mungkin, salah satu maknanya mampu menampilkan kehidupan yang setidaknya mendekati bayang-bayang surga di muka bumi.
Memang, idealnya, semakin bertambah jumlah umat yang bergelar haji, maka bertambah pula orang-orang yang memiliki derajat saleh. Gelar haji, bukan gelar yang melambangkan status sosial tertentu, atau tingkat ekonomi tertentu yang kemudian melahirkan kesombongan baru. Tetapi, haji –dalam hal ini gelar orang yang sudah menunaikan ibadah haji- seharusnya menjadi salah satu simbol dari pribadi yang sudah mencapai derajat kesalehan ideal. Mampu menampilkan perilaku yang memiliki padanan dengan nilai-nilai berbagai ritual haji yang sudah ditunaikan.
Dengan demikian, tidak terlalu menggembirakan dan tidak elok disaksikan. Jika peningkatan jumlah antrian haji, diimbangi dengan tingginya jumlah pengantri BLT (bantuan langsung tunai sebagai simbol kemiskinan), pengangguran, apalagi antrian masuk jeruji besi dan ruang tahanan.
Seharusnya, dengan gelar haji, seseorang mau berbagi. Dengan gelar haji, malu korupsi. Dengan gelar haji, meningkat kualitas ibadah. Baik ibadah yang bersifat langsung (mahdloh), maupun melalui perantara (ghoir mahdloh). Jangan sampai terjadi, gelar diulang dua kali sebagaimana yang biasa diberikan masyarakat Sunda. Seperti, haji-haji tapi korupsi (sudah haji, koq korupsi), haji-haji cetri (sudah haji, koq pelit), haji-haji tara salat (sudah haji, koq tidak shalat) dan sejenisnya.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?