Pelajar berulah lagi. Kalimat ini, setidaknya cukup mewakili berbagai pemberitaan mengenai tawuran pelajar, yang muncul kembali menghiasai media masa. Seperti yang dimuat sebuah surat kabar lokal di Priangan Timur edisi 5 Oktober 2013, mengenai tawuran beberapa siswa SMA di Garut. Celakanya lagi, kejadian ini dilakukan ketika warga melaksanakan shalat Jum’at.
Memang, kasus tawuran pelajar menjadi salah satu persoalan yang sering menjadi bahan perbincangan. Persoalan yang sudah lama dihadapi insan pendidikan bangsa ini, hampir bisa dipastikan belum dapat diselesaikan.
Melalui tawuran, anak-anak kita seolah memperoleh kebanggaan tersendiri. Dengan penuh keyakinan, sengaja mempertontonkan kebrutalan. Mereka berubah menjadi beringas, keji, dan tidak kenal perikemanusiaan. Sungguh tidak mencerminkan karakter kaum terpelajar.
Meski disadari betul akan bahayanya, serta sudah memakan banyak korban, kita seolah belum serius menyelesaikannya. Hampir semua orang sibuk mengurusi diri masing-masing, termasuk orangtua siswa itu sendiri. Lalu, semua pihak larut dalam sikap menyalahkan anak-anak yang sedang “kesetanan” itu, tanpa usaha mendudukan persoalan dengan apa adanya.
Hemat penulis, tawuran pelajar adalah cerminan rusaknya kehidupan bermasyarakat kita. Remaja yang tidak toleran, agresif, dan gemar main hakim sendiri menunjukkan banyak hal tentang keluarga, sistem sosial, nilai-nilai berbangsa dan bernegara.
Ada hal yang menarik dari temuan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), bahwa salah satu penyebab utamanya adalah kesalahan pola asuh orangtua. Walaupun bukan satu-satunya pihak yang patut bertanggungjawab, tapi peran orangtua dalam pendidikan anak-anaknya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Peran Orang Tua dalam Pendidikan
Orangtua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Utama, karena pengaruh mereka sangat mendasar bagi perkembangan kepribadian anak. Pertama, karena orangtua adalah pihak pertama dan paling banyak melakukan kontak dengan anak.
Pada sisi yang lain, orangtua juga merupakan pihak paling berkepentingan terhadap keberhasilan pendidikan seorang anak. Ia akan menjadi pihak yang paling dirugikan, jika anaknya gagal. Demikian juga sebaliknya, orangtua tampil sebagai sosok yang paling diuntungkan, ketika anaknya berhasil mencapai tujuan. Hal ini menjadi salah satu dasar bahwa kewajiban mendidik anak diemban oleh orangtua.
Dalam bahasa Islam, orangtua memiliki tanggungjawab untuk membebaskan keluarga, termasuk anak, dari bahaya neraka. Baik dalam pengertian neraka di akhirat kelak, maupun neraka dunia yang akan sering kita temui, hari ini. Orangtua memiliki tanggungjawab untuk menyelamatkan anak dari api rasa takut, rasa bersalah, rasa sedih, rasa khawatir, rasa sakit, yang terus-menerus membuat kita menderita.
Lebih dari itu, dalam Islam anak merupakan amanat bagi orangtua, yang akan dimintai pertanggungjawabannya. Dan secara naluriah, hal ini tidak akan sulit dilakukan. Karena Tuhan sudah menganugerahkan rasa cinta bagi setiap orangtua pada anaknya.
Pendidikan yang dilakukan oleh orangtua dalam bingkai kehidupan keluarga, memiliki kesempatan dan peluang lebih banyak daripada pendidikan lain. Baik sekolah, madrasah, kursus, atau lembaga pendidikan dengan nama apa pun. Setiap anak, terutama periode awal pertumbuhannya, senang meniru orangtua. Ibu dan ayah selalu menjadi objek utama yang diperhatikan anak. Keduanya menjadi figur ideal bagi mereka, yang kemudian menjadi inspirasi dalam segala aspek kehidupannya, kelak.
Namun, karena keterbatasan yang dimiliki -seperti intelektual, biaya dan waktu-, orangtua menitipkan anaknya ke lembaga pendidikan seperti sekolah. Mereka meminta tolong kepada sekolah untuk mendidik anak. Atau, menjalin kerjasama yang baik dengan sekolah, maupun lembaga lain yang sepadan, untuk membimbing anak hingga mencapai derajat manusia seutuhnya.
Jika kesadaran yang dibangun seperti demikian, maka pendidikan tetap menjadi tanggungjawab orangtua. Sedangkan sekolah hanya membantu. Peran ini jangan sampai tertukar, atau bahkan diserahkan sepenuhnya pada lembaga bernama sekolah. Apalagi menganggap sekolah sekadar tempat “penitipan anak” bagi orangtua yang sibuk, atau bahkan hanya “tempat pembuangan anak” bagi orangtua yang tak peduli pada mereka. Sehingga, anak-anak menumpahkan kekecewaan dengan caranya sendiri, seperti tawuran.
Rumah
Tempat paling ideal dalam mendidik anak yang dilakukan orangtua adalah rumah. Ia bukan sekedar benda mati, yang selama ini sering dijadikan orang hanya sebagai tempat tidur, berangkat dan pulang. Tetapi, lebih dari itu, rumah menyimpan cinta dan kenangan.
Seperti yang pernah ditulis Fyodor Dostoevsky, bahwa kenangan indah masa kecil di rumah orang tua, merupakan hal paling tinggi, kuat, keras dan paling berguna dalam kehidupan. Bahkan, ia mengatakan kenangan indah inilah yang menjadi pendidikan terbaik serta mampu menjadi inspirasi sepanjang kehidupan.
Kondisi orangtua dalam sebuah keluarga, sangat mempengaruhi perkembangan seorang anak. Kerukunan, kedamaian, dan kondisi harmonis yang dihadirkan dalam hubungan keluarga akan menghadirkan rasa tenang dalam jiwa anak. Yang mana ketenangan ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku anak, baik di dalam maupun di luar rumah.
Ahmad Tafsir (2008), pernah menjelaskan konsep pendidikan anak di rumah dengan lebih teknis. Bahwa hubungan yang dibangun dalam mendidik anak, harus didasari kasih sayang, menghadirkan rasa aman, rasa dihargai, rasa bebas, pengawasan, hukuman yang mendidik, dan pengamalan ajaran agama dengan baik.
Dengan demikian, peran dan tanggungjawab orangtua dalam mendidik anak -termasuk dalam menyelesaikan persoalan tawuran pelajar- sangat besar. Tanpa menapikan unsur lain, peran pola asuh dan pendidikan orangtua yang baik, hemat penulis cukup menjanjikan.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?