![]() |
Gambar dari sini |
Konon, manusia diciptakan dengan sifat khususnya: pelupa. Sifat
yang sering sengaja dihadirkan untuk membela diri ketika terpojok. Celakanya, hal
apapun bisa saja mereka lupakan. Termasuk Tuhan. Ia seolah hanya “dihadirkan”
dalam saat dan atau kondisi tertentu. Sedangkan dalam banyak kondisi, Tuhan
sering “dilupakan” begitu saja. Entah lupa yang disengaja atau karena sifat
bawaan tadi. Atau jangan-jangan, karena Tuhan sudah disetarakan dengan hal-hal
yang ketinggalan zaman, kadaluarsa, kampungan, kolot, dan dikalahkan dengan
barang modern. Sehingga melupakannya adalah perilaku biasa saja.
Melalui bukunya yang berjudul “Tuhan yang Kesepian”, Tasirun Sulaiman mengajak kita untuk kembali
mengingat dan mempertanyakan segala sesuatu yang sudah kita anggap final; kita
anggap sudah biasa. Sikap kita pada Tuhan, keimanan, agama, hidup, hubungan
dengan sesama, dan banyak hal yang sudah kita anggap selesai, kembali diangkat,
dipertanyakan, dan dikaji lebih dalam. Lebih dari itu, setelah membaca
tulisan-tulisan dalam buku ini, benak kita menghadirkan berbagai pertanyaan
baru yang terus menuntut untuk mengkaji dan berpikir.
Dengan bahasa yang sederhana namun padat, kita diajak
memikirkan kembali tentang banyak hal dalam hidup kita. Lalu menghubungkannya
dengan keimanan. Karena baginya, keimanan bukan sesuatu yang sudah selesai,
sehingga tabu untuk dibahas. Melainkan sesuatu yang layak ditanyakan, dikaji,
diperdalam dan diberi aneka penguatan.
Berbagai pengalaman dan kejadian dalam hidup yang sudah
sering dihadapi, berhasil ditautkan kembali dengan kita, kemudian
ditransendensikan. Mudik misalnya. Rutinitas yang sebetulnya banyak memakan
korban, tetapi terus dilakukan dan menjelma menjadi kebiasaan yang mengakar. Idul
fitri yang identik dengan kegiatan ibadah, akan terasa hambar jika tidak
dilengkapi mudik. Sayangnya, sedikit sekali pelaku mudik yang mampu menggali
pelajaran. Seperti dilukiskan oleh penulis buku ini pada halaman 127:
Kita kadang lupa memahami mudik sebagai sebuah gerak
kembali dari perjalanan hidup kita. Kita berasal dari suatu tempat dan hendak
kembali menuju tempat itu. Apakah gerangan tempat itu?
Masih banyak tawaran-tawaran lain untuk memikirkan ulang dan
mengambil pelajaran dari berbagai kejadian dan pengalaman hidup, yang seolah
sudah biasa kita lakukan, sehingga sudah selesai dan tanpa pelajaran.
Tawaran-tawaran mengenai toleransi, optimisme, persaudaraan,
kebijaksanaan, nilai-nilai kemanusiaan universal, bahkan keimanan, bertebaran
dibalik lembar-lembar halaman buku ini. Hidangan ini terasa lebih lengkap,
karena didukung dengan sudut pandang yang menunjukan kekayaan referensi dan
wawasan penulisnya.
Ketika melihat judulnya, seolah kita akan dibawa menyelami
persoalan berat dan tabu untuk dibahas, yakni tentang Tuhan. Padahal, di
dalamnya kita diajak berkelana melihat kembali dan memahami berbagai rutinitas
kehidupan, kemudian dihubungkan dengan jalan ketuhanan. Hal ini tidak terasa
berat, karena dibumbui dengan berbagai hikmah yang menarik, termasuk yang
terkandung dalam film sekalipun.
Pada akhirnya, kita akan kesulitan untuk tidak setuju, bahwa
segala sesuatu itu belum final. Sehingga masih layak untuk dipikirkan dalam
sebuah kontemplasi, agar tidak dimakan oleh penyakit bawaan kita: lupa.
Judul : Tuhan yang Kesepian
Penulis : Tasirun Sulaiman
Penerbit : Bunyan
Halaman : 204 halaman
Terbit : I, Mei 2013
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?