Langsung ke konten utama

Tentang Kema(mp)uan Mendengar


Gambar dari sini
Tulisan ini hadir, dilatarbelakangi oleh sebuah diskusi dengan beberapa sahabat penulis, terkait maraknya status pengguna media sosial yang menyiratkan kekecewaan, kritikan bahkan umpatan terhadap kinerja pemerintah atapun wakil rakyat, baik di pusat maupun di daerah. Beberapa sahabat penulis sempat mengungkapkan, bahwa hal tersebut seakan tidak bermakna. Karena pesan yang disampaikan seolah tidak sampai pada pihak yang dikritisi. Ribuan kritikan dalam status bergentayangan, sementara yang dikritik melenggang berlaga tuli.

Jika yang disoal adalah media sosialnya, hemat penulis agak kurang tepat. Karena dalam banyak kasus, peran media sosial dalam mengawal proses demokrasi sudah tidak perlu diragukan lagi. Bahkan, banyak orang menyebut media sosial sebagai pilar kelima demokrasi. Ia seolah muncul sebagai pelengkap konsep trias politica-nya C. L. S. Baron de Montesque (1689-1755), yang mengenalkan eksekutif, legislatif, dan yudikatif sebagai tiga pilar demokrasi (Fred S. Siebert menyebut pers sebagai pilar keempatnya).

Sebut saja, peristiwa tumbangnya kekuasaan Hosni Mubarak, yang diawali dari penggalangan kekuatan melalui jejaring sosial Facebook. Penguasa “Negeri Firaun” yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun itu, mampu ditumbangkan oleh kekuatan yang digalang melalui media sosial bernama Facebook. 

Asumsi ini semakin menguat, tatkala beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa di Tasikmalaya harus ditahan aparat karena dianggap sudah melanggar aturan ketika menyampaikan aspirasi. Penulis tidak memiliki kompetensi untuk menyatakan siapa yang patut disalahkan. Tetapi, kejadian ini memberi indikasi, ada komunikasi yang kurang efektif antara rakyat dengan para pemimpinnya. Ataupun sebaliknya, para pemimpin belum berhasil meyakinkan rakyat, yang sudah memberi mandat pada mereka. 

Jadi, tidak efektifnya proses penyampaian aspirasi maupun kritikan yang dilakukan oleh para pengguna media sosial melalui berbagai status, hemat penulis bukan disebabkan oleh ketidakefektifan media sosial. Melainkan adanya komunikasi yang berjalan kurang baik antara rakyat dengan para penguasa, apapun jenis medianya.

Penulis teringat apa yang disampaikan Mochtar Buchori (2005), terkait adanya gejala yang disebut monolog kolektif. Sebuah gejala yang menunjukan tidak adanya proses komunikasi dua arah. Melainkan hanya komunikasi searah. Yakni, semua pihak hanya pandai berbicara atau menyampaikan informasi, tanpa diimbangi dengan kemampuan mendengarkan. 

Semua pihak berbicara tentang kebenaran masing-masing sampai berbusa. Namun, tidak ada istilah lawan yang diajak bicara agar memungkinkan terjadinya dialog yang efektif. Sehingga, pertukaran gagasan yang mampu melahirkan gagasan baru yang lebih baik, tidak akan pernah terjadi.

Mereka berkumpul dalam suatu tempat. Tetapi tidak bersama-sama membicarakan satu hal. Melainkan sibuk dengan ihwalnya masing-masing.

Misalnya, seorang ibu di pengajian menceritakan keberhasilan anaknya yang sudah menjadi sarjana. Sementara ibu yang satunya lagi, langsung menimpali dengan keberhasilan anaknya yang sudah menjadi pengusaha. Cerita ini segera disusul oleh ibu yang lain, yang memberitahukan bahwa anaknya berhasil menyelesaikan studi di luar negeri. Demikian seterusnya.

Fenomena seperti ini tidak menjanjikan banyak hal tentang perbaikan. Terlebih dalam dunia demokrasi yang sudah demikian panjang kita perjuangkan. Yang mana, dalam proses berdemokrasi, dialog adalah hal yang mutlak dibutuhkan. Kran kebebasan berpendapat yang sudah berhasil kita kucurkan, idealnya diimbangi dengan keahlian untuk menjadi pendengar yang baik.

Hemat penulis, sudah menjadi tugas kita bersama untuk kembali mengasah keahlian mendengarkan. Karena, tanpa hadirnya keahlian mendengarkan dari semua pihak, gelombang kebebasan berbicara yang sudah didengungkan tidak akan menghasilkan apa-apa. Kecuali serak dan aneka kekecewaan yang dilontarkan dengan beragam ekspresi, termasuk kekerasan.

Sehebat apa pun pesan yang disampaikan, dalam media jenis apa pun, jika tidak diimbangi dengan kemampuan mendengarkan yang baik, tidak akan banyak pengaruhnya terhadap kualitas kehidupan. Tidak hanya dalam kehidupan politik. Melainkan dalam bidang apa pun, termasuk pendidikan, ekonomi, budaya, bahkan dalam lingkungan keluarga sekalipun.

Selain berbicara, pemerintah harus mampu mendengarkan rakyatnya. Rakyat harus mau mendengarkan pemerintah. Anak harus mampu mendengarkan orang tuanya. Orang tua, harus mau mendengarkan anaknya. Guru harus mau mendengarkan peserta didiknya. Peserta didik harus mampu mendengarkan gurunya. 

Dengan demikian, pekerjaan rumah kita hari ini, adalah mengasah kembali kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan orang lain. Sebuah kemampuan yang akan mengantarkan kita pada derajat memahami. Sebagai prasyarat terjadinya proses dialog atau komunikasi dua arah. Sehingga, kebebasan berbicara yang sudah kita perjuangkan tidak akan sia-sia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi Kelas 9

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 akan penulis bagikan secara gratis. Pengunjung dapat langsung mendownload RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 dan RPP Selembar Kurikulum 2013 bagi kelas 9, pada link yang sudah disediakan di bagian bawah artikel ini. 

Ringkasan PAI SMP Kelas 9 Lengkap

Pada postingan ini akan dibagikan informasi mengenai materi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi kelas 9 SMP secara lengkap. Dari mulai bab pertama sampai dengan terakhir, sesuai dengan yang tercantum dalam buku paket siswa dan Kompetensi Dasar yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk menuju materi yang dimaksud, bisa langsung diklik dalam daftar isi berikut ini: Bab 1 Meyakini Hari Akhir, Mengakhiri Kebiasaan Buruk Bab 2 Jujur dan Menepati Janji Bab 3 Menuai Keberkahan dengan Rasa Hormat dan Taat kepada Orang Tua dan Guru Bab 4 Zakat Fitrah dan Zakat Mal Bab 5 Dahsyatnya Persatuan dalam Ibadah Haji dan Umrah Bab 6 Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara Bab 7 Meraih Kesuksesan dengan Optimis, Ikhtiar dan Tawakal Bab 8 Beriman kepada Qada' dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati Bab 9 Mengasah Pribadi yang Unggul dengan Tata Krama, Santun, dan Malu Bab 10 Menyayangi Binatang dalam Syariat Penyembelihan Bab 11 Akikah dan Kurban Menumbuhkan Kepedulian Umat  Bab 12 Menelusuri Tradisi...

Materi PAI SMP Kelas 9: Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara

1. Peta Konsep 2. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu: a. Menjelaskan tradisi  Nusantara sebelum Islam dengan benar. b. Menjelaskan Akulturasi budaya Islam dengan benar. c. Menjelaskan cara melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan benar. d. Mengambil hikmah mempelajari tradisi Islam Nusantara dengan benar. e. Berperilaku melestarikan tradisi Islam Nusantara dalam kehidupan seharihari dengan benar.