Gambar dari sini |
DISADARI atau tidak, waktu terus berjalan melampaui apa pun. Siapa yang lalai, tentu saja akan ditinggalkan. Karena baginya, tidak pernah mengenal istilah menunggu. Lebih dari itu, waktu hanya akan muncul sekali dan tidak akan pernah kembali lagi.
Ali bin Abi Thalib r.a. pernah mengingatkan, bahwa rezeki yang tidak diperoleh hari ini, masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok.
Hal ini senada dengan sebuah ungkapan Arab, yang menurut sebagian kalangan tergolong hadits Nabi. Bahwa setiap fajar terbit, ia berseru, “Putera-puteri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”
Pada prinsipnya, waktu yang sudah, sedang dan akan kita lewati, merupakan sarana dari Allah SWT. Kita harus mampu mengisinya dengan segala hal yang mengandung nilai ibadah (Q.S. Adz-Dzariyat:56). Dalam hal ini, apa pun yang kita kerjakan, harus atas dasar dan untuk melakukan pengabdian kepada Allah. Yang mana, semua itu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak (Q.S. Al-Zalzalah:7).
Sangat disayangkan, jika seluruh waktu yang tersedia hanya dihabiskan untuk persoalan isi perut, pembungkus kulit, dan sejenisnya. Apalagi, jika sengaja dibiarkan berlalu tanpa melakukan apa pun, atau hanya melakukan berbagai tindakan yang tidak berguna.
Dalam hal pengelolaan waktu, Nabi Muhammad s.a.w. sudah memberikan panduan, seperti dalam hadits berikut ini:
Yang berakal selama akalnya belum terkalahkan oleh nafsu, berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog) dengan Tuhannya, ada juga untuk melakukan introspeksi. Kemudian ada juga untuk memikirkan ciptaan Allah (belajar), dan ada pula untuk diri (dan keluarga) guna memenuhi kebutuhan makan dan minum (Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim melalui Abu Dzar).
Kesibukan untuk mencari nafkah, tidak lantas menghilangkan kesempatan untuk beribadah (dalam pengertian khusus, seperti ibadah salat). Demikian selanjutnya, dengan alasan ibadah ritual, kita tidak dibenarkan melupakan tanggung jawab pada sesama atau keluarga. Juga jangan dilupakan, kita harus menyediakan waktu khusus untuk melakukan kontemplasi dan evaluasi diri.
Sudah seharusnya, ajaran Islam mengenai keteraturan dan kedisiplinan waktu dalam ibadah ritual dan perintah mengelola waktu pada umumnya, berdampak positif terhadap kehidupan umatnya. Umat terbiasa berdisiplin dan memiliki manajemen waktu yang baik, serta tidak permisif terhadap kelalaian dan ketidakdisiplinan. Sehingga, istilah “jam karet” yang seolah menjadi ciri khas masyarakat kita akan segera terhapus.
Penyesalan atas penggunaan waktu yang tidak baik, baru akan terasa ketika jatah waktu disadari segera berakhir. Pada saat itulah, kita akan tersadar bahwa waktu benar-benar berharga dan harus dikelola dengan baik. Padahal, seperti sudah penulis ungkapkan di awal, ia tidak mungkin bisa diputar kembali.
Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan sejak lama dalam sebuah hadits, bahwa di antara nikmat yang sering dilupakan dan disia-siakan oleh manusia adalah kesehatan dan kesempatan. Besarnya dua nikmat tersebut, baru akan terasa setelah keduanya hilang dan berlalu.
Selamat tinggal tahun 2013, selamat datang 2014. Semoga, kita tidak termasuk dalam golongan yang merugi, "hanya" karena menyia-nyiakan waktu. Wallou a'lam
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?