“Pami
aya nu ngageleser kana genggerong we, bade dicoblos.” Demikian jawaban
seorang kawan saya, saat ditanya soal pilihannya pada pemilu mendatang. Imbalan
untuk menjatuhkan legitimasi politik melalui “memilih”, direduksi menjadi
sebatas hitung-hitungan keuntungan materi sesaat. Setidaknya, inilah potret dari sebagian
wajah demos bangsa kita, hari ini.
Hemat
saya, persoalan demikian tidak kalah mengkhawatirkan dibanding meningginya
angka golput. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari proses demokrasi seperti
ini, kecuali menjamurnya para penjarah kekayaan negara yang berlindung di balik
kekuasaan. Mereka yang kalau beruntung selamat sampai tujuan. Sedangkan kalau
sedang “sial”, harus mendekam di dalam kamar pesakitan.
Buktinya
tidak sulit ditemukan. Mendagri Gamawan Fauzi misalnya, pernah memaparkan data
cukup mencengangkan. Bahwa pada Maret 2013, sudah 293 pimpinan daerah terjerat
korupsi. Diikuti oleh 2.553 anggota legislatif dari pusat hingga daerah yang
ikut mengumpulkan harta dengan jalan tidak terhormat (Ruslan Ismail Mage,
2013).
Menuduh
rakyat sebagai terdakwa utama dalam kasus ini, tidaklah bijak. Karena, seperti dalam
pepatah, tak akan ada asap jika tak ada api. Fenomena ini adalah akibat.
Sedangkan mencari sebabnya, tidak semudah menorehkan kanvas hitam di atas kain
putih. Yang pasti, buruknya kualitas demokrasi yang dijalankan, serta elit yang
kurang mendidik, merupakan sebab utama yang sulit untuk disangkal.
Jujur,
sebagai pemilih saya masih berharap, genderang kampanye terbuka yang ditabuh
sejak Minggu 16 Maret kemarin, memberikan harapan. Milyaran rupiah yang
digelontorkan dari saku peserta pemilu dengan berbagai latar belakang, tidak
berhamburan tanpa arah. Semoga, selain meningkatkan partisipasi publik,
kampanye mampu memperbaiki kesadaran dan landasan berpikir pemilih dalam
menjatuhkan pilihan.
Keuangan yang Maha Esa
Berat
sebetulnya untuk mengatakan, bahwa perjalanan
politik kita memang tidak ideal. Politik seolah hanya dipahami sebagai
pertarungan materi demi kekuasaan, lalu menggunakan kekuasaan untuk
mengembalikan materi. Demikian seterusnya.
Logikanya
sederhana, siapa yang banyak “modal” (khususnya materi) atau memiliki komitmen
perselingkuhan dengan pemilik modal, dia yang akan mendapatkan singgasana.
Kualitas gagasan, kebesaran konsep, maupun keidealan visi dan misi, seolah
tidak lagi memiliki daya tawar. Wajar, jika kemudian yang tampil menjadi
penguasa adalah mereka yang memiliki kekuatan kapital.
Mimpi
demokrasi mengenai kehidupan bersama yang lebih baik seolah kian menjauh. Keterlibatan
warga negara untuk menyambut keberutamaan hidup bersama, tidak lebih dari
kerumunan manusia nir-keadaban. Kendati legitimasi kekuasaan diraih dari proses
legal-rasional melalui pemilu, tapi secara substansial sudah menjauhi kodratnya
sebagai kekuasaan yang diikuti pertanggungjawaban. Alih-alih menanti kehadiran
sosok pemimpin cakap mengurusi dan memperjuangkan hajat hidup bersama, yang
bertambah malah para penjarah tamak yang sibuk mengembalikan modal.
Tanggungjawab
sudah dijual lebih dulu. Imbalan bagi legitimasi politik yang dimandatkan,
sudah lunas bayar di awal. Selanjutnya, rakyat menjadi yatim piatu. Yatim,
karena pemerintah jarang hadir dalam berbagai persoalan publik. Piatu, karena
partai politik hanya hadir di kala musim kampanye tiba.
Pemilu
sebagai bagian dari proses demokrasi, mestinya menjadi wahana untuk menuai
harapan baru. Bukan menjadi ruang tunggu yang diliputi kecemasan. Cemas
dipilih. Cemas memilih. Cemas untuk menentukan pilihan. Cemas untuk menanti
kiprah yang dipilih. Cemas untuk menjalankan mandat dari pemilih.
Sudah
sejak awal, kita sepakat menjadi bangsa yang berketuhanan. Kesadaran akan
ketuhanan inilah, yang kemudian menjadi landasan dalam segala aktivitas
kehidupan yang dijalankan. Tidak terkecuali politik. Dengan landasan inilah,
politik tidak menjadi ganas dan beringas. Politik tidak kering dan kerontang,
tetapi menyejukan. Namun apa yang terjadi? Alih-alih menggelorakan kesadaran
“Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mewujud malah keuangan yang maha esa.
Segala
sesuatu diatur dan diukur berdasarkan perhitungan untung-rugi ekonomi sesaat.
Tidak ada istilah kebenaran maupun ideologi. Asal ada duit, jadi. Jika sudah
demikian, memang mengkhawatirkan. Demi uang, bukan hanya berbohong
mengatasnamakan Tuhan, justru Tuhan pun dipolitisir dan dibohongi.
Nalar
seperti ini, cenderung memuaskan nafsu dengan cara-cara yang efisien. Akal
sehat bertugas menentukan cara yang paling tepat untuk memuaskan nafsunya. Akal
dikendalikan nafsu, dan bukan sebaliknya.
Seseorang
tahu kalau dia harus memilih calon yang benar karena alasan kesejahteraan
bersama. Namun, nafsu mampu membuat keputusan akalnya menjadi tidak sehat. Dia
akan berpikir, "kalau saya memilih yang tak berduit, saya tak punya duit".
Akal
yang sudah dikalahkan nafsu cenderung mengotori masa depan. Dalam istilah teori
keputusan (decision theory), dikenal dengan diskon hiperbolis. Maksudnya,
seseorang cenderung memilih keuntungan kecil yang didapat dalam jangka pendek, dibanding keuntungan
besar dalam jangka panjang.
Hal
ini memberikan penjelasan, mengapa banyak orang memilih calon sudah terbukti
korup hanya karena diberi serangan fajar. Ini juga menjelaskan mengapa banyak
orang cenderung memilih korupsi lalu dipenjara, dari pada kaya jalur lambat
tapi selamat.
Jangan
dulu membicarakan kemarahan Tuhan. Dengan kasat mata saja kita sudah bisa
menilai, bahwa nalar yang berpikir asal jadi duit, sudah terbukti membawa
petaka. Politik
semacam inilah yang memberi izin penambangan liar di daerah konservasi,
membiarkan alih fungsi lahan tanpa kendali, meloloskan pembalak liar, dan
menutup mata terhadap analisis mengenai dampak lingkungan demi kas pemerintahan.
Ala
kulli hal, keputusan itu ada pada kita
sebagai pemilih. Arah peradaban ini mau dibawa ke mana, tergantung pada siapa
kita mandatkan. Yang pasti, mengorbankan masa depan demi keuntungan kecil
sesaat, bukanlah pilihan tepat. Sudah saatnya, kita serahkan amanat ini pada
yang layak menerimanya. Tentunya bukan didasarkan pada prestasi musim kampanye,
apalagi dengan pertimbangan uang recehan
Selamat menentukan pilihan. Semoga, masih siap menjadi pemilih yang tak terbeli.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?