Langsung ke konten utama

Menangkap Pesan Hardiknas


hardiknas
Gambar dari sini
Tidak terasa, kita sudah (harus) bertemu lagi dengan salah satu hari yang diistimewakan bangsa ini: Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional) yang tiap tahun diperingati. Untuk menyambut hari ini, berbagai acara digelar, terutama upacara bendera yang sengaja memasang spanduk bertuliskan “memperingati Hardiknas”. Bahkan, beberapa sekolah sengaja menyuruh siswanya belajar di rumah masing-masing (untuk tidak menyebut diliburkan), karena para guru harus menghadiri rangkaian acara peringatan.

Penulis sempat mengerutkan kepala, ketika mengobrol dengan seorang kawan pengajar sebuah sekolah di Tasikmalaya. Dengan santai, penulis bertanya mengenai pentingnya peringatan Hardiknas. Dia menjawab tegas, “Sangat penting”. Lalu, penulis susul dengan pertanyaan mengenai alasan, substansi, serta latar belakang acara tersebut. Menurutnya, Hardiknas ya Hardiknas. Lebih jauh ia menjelaskan, bahwa peringatan Hardiknas adalah semacam ritual yang “wajib” dilaksanakan oleh setiap warga negara (khususnya warga pendidikan?), tanpa memahami maksud dan tujuan, alasan dan manfaat, landasan, dan seterusnya. Bahkan, peristiwa atau tokoh apa yang melatarbelakanginya pun luput dari perhatian.

Hemat penulis, kebiasaan dan pemahaman demikian sangat berbahaya. Keterjebakan dalam ritual semata, lalu melupakan substansi darinya, hanya akan melahirkan generasi bermental speedboat yang gemar berlari kencang di atas permukaan arus dangkal. Generasi yang mudah diobok-obok. Generasi yang terombang-ambing dalam kegalauan.

Kita bisa membayangkan, seperti apa muridnya, kalau gurunya saja demikian. Seorang guru yang mestinya mampu membawa murid bergerak di kedalaman makna, malah ikut hanyut dalam hingar-bingar ritual semata.

Menangkap makna dan semangat dari setiap ritual (atau lembaga) sangat sentral. Sebab, dari sinilah maksud, tujuan, alasan, serta manfaat yang pada akhirnya menjadi standar moral bagi ritual tersebut, akan mewujud. Umat muslim, mengenal ritual shalat misalnya. Di dalamnya tersimpan makna yang harus dipahami. Karena dengan memahami makna yang terkandung di dalamnya, maka maksud, tujuan, serta manfaat shalat akan mampu diwujudkan. Ia tidak hanya ritual yang harus dilaksanakan lima kali sehari. Tetapi hadir menjadi pencegah perbuatan keji dan munkar, tiang agama, fasilitas mi’raj kaum muslimin, dan seterusnya.

Demikian halnya dengan peringatan Hardiknas. Ia jangan hanya diposisikan sebagai ritual wajib yang hampa makna. Tiap tahun diperingati, tapi semangatnya menghilang entah ke mana. Laksana pesta kembang api di malam Tahun Baru, yang hanya hadir sesaat menyisakan abu.

Momentum peringatan Hardiknas, sejatinya menjadi salah satu kesempatan untuk meningkatkan perhatian kita terhadap pendidikan. Hari ini, seluruh komponen bangsa-baik yang terjun langsung dalam dunia pendidikan maupun tidak-, harus berkontemplasi untuk merenungi dosa masing-masing terhadap dunia pendidikan, lalu menatap masa depan dengan penuh keyakinan dan komitmen yang jelas, sesuai dengan peran dan kemampuan masing-masing. Terlalu sayang, jika energi kita malah dihabiskan hanya untuk mencerca kegelapan. Akan jauh lebih baik, jika setiap individu berusaha menyalakan lilin kehidupan sesuai kemampuan.

Kalau seandainya Ki Hadjar Dewantara hanya larut menyalahkan kesalahan pemerintahan kolonial pada masanya, maka tidak akan lahir Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, yang menetapkan beliau sebagai Bapak Pendidikan Nasional, serta hari ulang tahunnya sebagai Hari Pendidikan Nasional. Tetapi, disamping melancarkan kritik dan koreksi yang tajam terhadap berbagai kebijakan kolonial pada waktu itu, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (nama kecil Ki Hadjar Dewantara) berusaha menyalakan lilin kehidupan yang dicatat sejarah sangat berperan bagi kelangsungan pendidikan bangsa ini. Salah satunya, kehadiran Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa yang beliau dirikan pada tanggal 3 Juli 1922.
 
Tentu saja, konteks yang dihadapi Ki Hadjar Dewantara berbeda dengan konteks yang kita hadapi. Namun, hal ini tidak menjadi pertanda, bahwa pendidikan saat ini sudah tidak memiliki persoalan yang harus diselesaikan. Sehingga, tugas kita terhadap salah satu penyangga tata kelola hidup bersama ini, dianggap sudah selesai.
 
Bambang Triatmodjo (2013) misalnya, merilis beberapa masalah pendidikan nasional kita yang menanti uluran tangan setiap komponen bangsa ini. Infrastruktur yang belum memadai, kurikulum yang terus memancing polemik, kesenjangan antara guru PNS dan honorer, ketidakmerataan kualitas antarsekolah, antardaerah, desa-kota, kualitas pendidikan tinggi yang belum mampu bersaing di dunia internasional, angka partisipasi kasar (APK) SMA/Sederajat yang masih rendah, serta perdebatan ujian nasional (UN) merupakan bagian dari persoalan yang tidak boleh diabaikan.

Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir, wajah pendidikan kita kembali dikotori oleh berbagai peristiwa yang mamilukan sekaligus memalukan. Sebuah sekolah bertaraf Internasional dan bertarif selangit, digoncang kasus pelecehan seksual yang dilakukan pegawai sekolah terhadap siswanya yang masih anak-anak. Sementara kasus ini masih hangat dari perhatian publik, sudah muncul kasus lain yang tidak kalah menyedihkan. Seorang pelajar sekolah pelayaran, harus meregang nyawa oleh sahabatnya sendiri.

Fenomena ini menjadi bukti, bahwa persoalan pendidikan kita masih bertumpuk. Meski konteksnya berbeda dengan Ki Hadjar Dewantara, tetapi tantangannya kurang lebih sama. Sehingga, momentum peringatan Hardiknas yang identik dengan Ki Hadjar Dewantara ini, sangat relevan untuk menyerap, menjiwai, dan memperbaharui semangat beliau.
 
Jika beliau mampu menghadirkan Perguruan Taman Siswa, yang menjadi jawaban terhadap persoalan pendidikan bagi masyarakat pribumi pada masa kolonial, maka tugas kita adalah melahirkan ide-ide yang sesuai dengan konteks hari ini. Terlebih, Hardiknas kali ini berdekatan dengan momen pergantian kepemimpinan, yang sejatinya menawarkan harapan.

Pendidikan bukan hanya milik guru atau siswa, tetapi milik bersama. Pendidikan bukan alat propaganda, tetapi modal dasar untuk menuai harapan menuju kemajuan sebuah bangsa. Ia bagaikan alat penetas telur. Jika digunakan dengan baik, akan melahirkan generasi emas yang menjanjikan. Sebaliknya, jika digunakan asal-asalan, hanya akan menyajikan telur busuk yang siap membusukkan segala sendi kehidupan.

Selamat hari pendidikan nasional. Semoga semangat Hardiknas tidak berhenti dalam ritual upacara semata, tetapi terus menjalar ke seluruh sendi kehidupan kita. Semangat menghadirkan solusi tidak padam dalam lantunan pidato, tetapi terus bergema melalui tindakan setiap komponen bangsa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi Kelas 9

RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 akan penulis bagikan secara gratis. Pengunjung dapat langsung mendownload RPP PAI SMP Kurikulum 2013 Edisi Revisi bagi kelas 9 dan RPP Selembar Kurikulum 2013 bagi kelas 9, pada link yang sudah disediakan di bagian bawah artikel ini. 

Ringkasan PAI SMP Kelas 9 Lengkap

Pada postingan ini akan dibagikan informasi mengenai materi Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bagi kelas 9 SMP secara lengkap. Dari mulai bab pertama sampai dengan terakhir, sesuai dengan yang tercantum dalam buku paket siswa dan Kompetensi Dasar yang dirilis oleh Kemendikbud. Untuk menuju materi yang dimaksud, bisa langsung diklik dalam daftar isi berikut ini: Bab 1 Meyakini Hari Akhir, Mengakhiri Kebiasaan Buruk Bab 2 Jujur dan Menepati Janji Bab 3 Menuai Keberkahan dengan Rasa Hormat dan Taat kepada Orang Tua dan Guru Bab 4 Zakat Fitrah dan Zakat Mal Bab 5 Dahsyatnya Persatuan dalam Ibadah Haji dan Umrah Bab 6 Kehadiran Islam Mendamaikan Bumi Nusantara Bab 7 Meraih Kesuksesan dengan Optimis, Ikhtiar dan Tawakal Bab 8 Beriman kepada Qada' dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati Bab 9 Mengasah Pribadi yang Unggul dengan Tata Krama, Santun, dan Malu Bab 10 Menyayangi Binatang dalam Syariat Penyembelihan Bab 11 Akikah dan Kurban Menumbuhkan Kepedulian Umat  Bab 12 Menelusuri Tradisi...

Materi PAI SMP Kelas 9: Menelusuri Tradisi Islam di Nusantara

1. Peta Konsep 2. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, peserta didik mampu: a. Menjelaskan tradisi  Nusantara sebelum Islam dengan benar. b. Menjelaskan Akulturasi budaya Islam dengan benar. c. Menjelaskan cara melestarikan tradisi Islam Nusantara dengan benar. d. Mengambil hikmah mempelajari tradisi Islam Nusantara dengan benar. e. Berperilaku melestarikan tradisi Islam Nusantara dalam kehidupan seharihari dengan benar.