"Hatiku tertambat di Pangandaran." Demikian kalimat yang meluncur dari seorang wisatawan, saat ditanya mengapa sering berkunjung ke sana. Ungkapan ini seolah mewakili perasaan penulis, yang sedang jatuh cinta pada Pangandaran.
Berbicara Pangandaran, tentu bukan
hanya tentang Pantai Timur yang indah, Pantai Barat yang memikat, Batu Hiu yang
mengundang rindu, Citumang yang menghadirkan rasa tenang, atau Green Canyon
yang mampu mengikis penat. Ia bukan hanya sebatas kawasan wisata, yang menjadi
candu bagi komunitas manusia modern. Sebagai sebuah kabupaten yang masih baru, Pangandaran
telah menjelma menjadi rumah bersama yang siap menghadirkan beragam mimpi, mewujudkan
berjuta harapan, merawat beribu kepentingan yang sebelumnya “terabaikan”.
Ia hadir sebagai identitas kolektif
baru, dari berbagai macam entitas kehidupan yang memiliki keragaman. Individu
yang sebelumnya berkutat dengan mimpi masing-masing, kini menyatu dalam bingkai
“mimpi bersama”: menuju Pangandaran yang lebih baik. Berbagai latar belakang
kehidupan yang –merupakan sebuah keniscayaan– berbeda, seharusnya melebur
menjadi satu dalam semangat bahu-membahu membangun Pangandaran.
Dalam konteks ini, Pangandaran
layaknya bilik atau lingkungan sekitar yang di dalamnya individu-individu
dihimpun menjadi sebuah komunitas, untuk merangkai makna kehidupan. Sekat
antara masyarakat pribumi-pendatang, mayoritas-minoritas, pengusaha-buruh dan
sekat sosial lainnya, sejatinya melentur untuk kemudian berubah menjadi
semangat menuju kehidupan bersama yang berkeutamaan di Pangandaran.
Setiap individu yang menghirup
udara dan memijakkan kaki di bumi Pangandaran, memiliki tanggungjawab untuk
mewujudkan mimpi Pangandaran. Lalu bekerja, bekerja dan bekerja sesuai dengan
peran dan posisi masing-masing. Pegawai Negeri Sipil (PNS), Polisi, Tentara dan
semua kalangan yang dibiayai oleh rakyat, bekerja untuk Pangandaran, bukan hanya untuk gaji dan tunjangan. Politisi bergerilya untuk
Pangandaran, bukan untuk syahwat pribadi dan golongan. Pengusaha dan karyawan
swasta berkarya untuk Pangandaran, bukan untuk menghamba pada kapital.
Pangandaran Hebat yang produktif, demokratis dan
sehat adalah sebentuk harapan bersama. Sebagaimana harapan pada umumnya,
bisa mewujud bisa juga menghilang. Mewujud, jika komunitas penghuninya mau dan
mampu mewujudkannya. Demikian sebaliknya, harapan tersebut akan menghilang
dengan sendirinya, jika komunitas penghuninya hanya gemar berpangku tangan dan
saling menyalahkan.
Dalam konteks ini, komunitas
masyarakat Pangandaran bisa dibagi menjadi tiga. Ada golongan maghdub, dhalliin,
dan komunitas ideal. Sebagaimana dijelaskan Emha Ainun Nadjib (2012), bahwasannya,
ada kelompok yang dimarahi Tuhan karena memiliki kesediaan, semangat dan
keberanian untuk berjuang, tapi malas belajar untuk mengetahui medan
perjuangannya. Sehingga, perjuangan mereka sering jauh dari harapan. Kelompok
masyarakat demikian, menurut Emha bisa dikategorikan sebagai maghdub “orang
yang mau tidak tahu”. Mereka memiliki semangat yang kuat untuk menyongsong
Pangandaran yang lebih baik, tetapi nir-kecakapan.
Pada sisi yang lain, ada juga
kalangan yang mengetahui banyak hal, belajar habis-habisan, bertukar informasi
dengan gencar, tapi tidak memiliki sensibilitas dan kepedulian. Ilmunya hanya
untuk ilmu. Bahkan, cenderung menjauh dari realitas. Inilah yang dikategorikan
sebagai kelompok dhalliin, “orang yang tahu tetapi tak mau”. Golongan
ini cenderung masuk dalam kategori ahli, tetapi –dengan berbagai sebab– tidak
memiliki kepedulian terhadap mimpi Pangandaran. Mereka cenderung sibuk
mewujudkan mimpi sendiri.
Adalah kelompok ketiga, yang
diharapkan akan mampu mewujudkan mimpi Pangandaran, terlepas pada latar
belakangnya. Mereka yang mampu membangun sensibilitas estetis, kebenaran dan
objektivitas, kebebasan dan keadilan, serta kebersamaan dalam pengorbanan
(Badiou, 1999). Komunitas manusia yang secara sinergis, mampu membangun
kualitasnya dalam ranah seni, sains, politik, dan cinta (dalam pengertian
luas).
Dalam ranah apa pun mereka
berkiprah, tidak lantas kehilangan kepekaan terhadap sesama, dunia sosial dan
Tuhan. Hal ini diimbangi dengan semangat untuk patuh pada kebenaran dan
objektivitas. Senantiasa menghargai kebebasan dan keadilan setiap komunitas di
sekelilingnya. Memiliki rasa cinta dan semangat kebersamaan sebagai bagian dari
komunitas masyarakat Pangandaran.
Kelompok ini tidak memahami hidup
hanya sekadar hidup. Mereka tidak akan rela memangsa sesama, bawahan, kaum
minoritas, kelompok tak bernama, tak memiliki bagian, tak dihitung dan tak
ber-uang untuk memuaskan syahwat pribadi maupun golongan.
Dalam konteks Pilkada yang sedang
dihadapi Kabupaten Pangandaran misalnya. Kelompok ini akan mampu menjadi
inspirasi, dalam memberi orientasi, memodelkan, dan mengendalikan tindakan,
perilaku, serta kesadaran komunitas dan aparatus politik, sebagai pribadi yang
penuh dengan sensibilitas, rasa keindahan, kebenaran, keadilan, cinta, dan
pengorbanan tinggi. Mereka tidak terjerumus ke dalam komunitas politik yang
cenderung mirip dengan “kerumunan manusia” yang tak mampu mengembangkan nilai
dan makna di dalam ruang kehidupan politiknya. Mereka tidak akan menggiring
manusia politik ke arah hidup sekadar hidup, yaitu kehidupan politik yang
direduksi menjadi satu lingkaran setan yang tak berkesudahan: kekuasaan demi
materi dan materi demi kekuasaan.
Semangat memisahkan diri dari kabupaten
induk, yang dikategorikan Buya Ahmad Syafii Maarif (2012) sebagai salah satu
jelmaan politik identitas, sejatinya mampu menghadirkan kesejahteraan yang
berkeadilan bagi seluruh masyarakat Kabupaten Pangandaran. Bukan menjadi wahana
baru untuk saling rebutan kekuasaan para penguasa lokal.
Selamat ulang tahun yang ke-8 (25 Oktober 2020),
Kabupaten Pangandaran. Semoga mimpi yang masih tertunda segera tercapai. Semoga
kita yang hari ini hadir di bumi Pangandaran, akan dikenang sejarah sebagai
generasi pembangun. Bukan sebagai generasi penikmat, apalagi perusak.
Aku mencintaimu, dengan segenap jiwaku...
*) Sebuah Catatan Menyambut HUT Kabupaten Pangandaran Ke-8, Versi cetak artikel ini terbit di harian Kabar Priangan edisi Senin 26 Oktober 2015 dengan berbagai penyesuaian.
buah penanya bisa dipertimbangkan...
BalasHapusHaturnuhun, Pa.
Hapus