Masalahnya, saya terlahir ke dunia ini dalam keadaan belum tahu apa pun, belum bisa apa pun, dan belum mengerti apa pun. Namun, justru karena itulah saya dianggap sebagai manusia normal, lalu diterima dengan baik oleh
keluarga dan orang sekitar.
Setelah berproses dan bernafas kurang lebih selama
25 tahun, barulah saya mulai mampu memahami, melakukan, dan menjiwai beberapa hal dalam
kehidupan. Meski dengan terbata, saya mulai mampu mengeja alif-ba-ta perjalanan
hidup, yang menyenangkan sekaligus mengerikan ini.
Tentu saja, saya tidak sampai pada posisi ini secara tiba-tiba.
Ada banyak hal yang membantu, mendorong, dan memberi pengaruh terhadap perjalanan
ini. Semuanya terekam jelas dalam ingatan.
Adalah para guru, yang saya pikir banyak pengaruhnya terhadap arah hidup ini. Dengan penuh ketulusan, mereka mendorong, menolong dan mengantarkan saya untuk bisa hidup bermakna.
Bagi saya, guru merupakan sosok istimewa dan mulia. Mereka mampu
membuat saya tidak putus harapan di saat sulit dan terus berjuang di kala
terjepit. Mengenalkan keajaiban mimpi. Mengajarkan tentang cinta dan ketulusan.
Menyediakan terang dalam gelap. Terlepas, apakah mereka lulusan sekolah guru atau bukan, mengajar di kelas atau di mana saja, bergelar sarjana atau tidak.
Sejak dua tahun ini, banyak orang yang memanggil saya dengan
sebutan prestisius itu. Ya, saya dipanggil guru. Agak berlebihan sebetulnya,
seonggok daging yang berlumur borok dan aib ini, harus dilabeli gelar istimewa
tersebut.
Saya sadar, zaman telah berubah. Dengan bantuan teknologi, pengetahuan
tidak lagi terpusat pada pihak tertentu, termasuk guru. Hari ini, siapa pun
bisa berbagi pengetahuan. Peran guru tidak sebatas “menjejali”
otak anak didik dengan informasi dari buku-buku. Justru, peran penting guru yang tidak boleh lekang dimakan zaman, adalah mengenalkan cinta dan
ketulusan terhadap anak didiknya. Guru harus mampu mengantarkan anak didik,
agar bisa hidup bermakna di “zamannya”. Guru harus menginspirasi. Guru harus
sadar, jika guru kencing berdiri, maka murid akan mengencingi guru.
Saya hadir ke kelas, tidak lagi untuk berceramah dan mempertontonkan keangkuhan. Karena tidak menutup kemungkinan, justru anak-anak saya yang sudah tahu lebih awal. Saya berusaha terus hadir di hadapan mereka, untuk mengantarkan kasih sayang.
Saya hadir ke kelas, tidak lagi untuk berceramah dan mempertontonkan keangkuhan. Karena tidak menutup kemungkinan, justru anak-anak saya yang sudah tahu lebih awal. Saya berusaha terus hadir di hadapan mereka, untuk mengantarkan kasih sayang.
Pangandaran, 25 Nopember 2015
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?