Saya terperanjat. Setengah tidak percaya, bahwa ia lulus CPNS. Soalnya,
dari hasil pelaksanaan ujian, nilainya kurang memuaskan. Bahkan, sesaat setelah
menyelesaikan seleksi tahap akhir, istri saya sudah kehilangan harapan. Ia
keluar ruangan dengan letih. Wajahnya lesu. Nilai yang direncanakan akan
tinggi, ternyata terjun bebas.
“Ah, ini benar-benar penuh kejutan. Semua diluar prediksi. Tapi, apapun
itu, selamat berbahagia. Semoga berkah, dan semakin menambah kebermanfa’atan
hidup. Alhamdulillah, Bu.” Saya balas pesannya dengan hati yang masih diliputi
ketidakpercayaan, seraya bersyukur kepada Tuhan. Saat itu, saya sadar, bahwa
manusia hanya berencana dan berusaha. Adapun hasil akhir, tidak sepenuhnya
menjadi urusan kita. Ada Tuhan yang memiliki segalanya.
Baiklah, saya akan berbagi kisah kepada sahabat-sahabat, terkait
kelulusan istri saya. Mudah-mudahan ada manfa’atnya. Bagi sahabat-sahabat yang
belum beruntung lulus CPNS, semoga kisah kami menginspirasi. Bagi yang belum
tertarik jadi pegawai negeri, bolehlah diskip saja. He... he...
Sebelum memutuskan untuk mencoba melamar jadi pegawai negeri, kami
sempat berdiskusi dengan cukup alot. Kami belum yakin akan sama-sama bekerja di
luar rumah. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, akhirnya sepakat, bahwa istri
akan mencoba peruntungan untuk melamar CPNS. Ia ingin jadi guru agama. Berbagi bersama
anak-anak, mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kampusnya. Selain itu, alasan
untuk membantu memperbaiki ekonomi orang tuanya, menjadi suntikan keyakinan
untuk melamar. Maklum, sejauh ini kami masih termasuk kelompok gonimah (golongan
ekonomi lemah). Kalau lulus, berarti Tuhan merestui. Adapun kalau gagal,
mungkin harus bekerja di rumah saja. Demikian kami berkesimpulan.
Kesepakatan telah diraih. Istri positif akan mencoba mendaftar. Muncul persoalan
berikutnya, dimana lokasi formasi yang dilamar? Hal ini penting untuk
didiskusikan. Mengingat banyaknya domisili kami. Secara administratif, masih
terdaftar sebagai warga Kecamatan Salawu bersama keluarga saya. Kemudian untuk
beberapa bulan, istri tinggal serumah bersama orang tuanya di Leuwisari.
Sementara saya, tinggal di Pangandaran. Akhirnya, kami memilih Cikatomas,
sebagai tempat yang paling strategis untuk dilamar. Tujuannya, agar kami segera
bisa tinggal serumah dengan jarak yang tidak terlalu jauh, baik ke keluarga
besar maupun ke tempat saya bekerja. Oh ya, bagi yang masih penasaran dengan
nama-nama tempat tersebut beserta jaraknya, bisa dilihat di google maps. hehe
Setiap prosedur pendaftaran ditempuh dengan baik. Dan, Alhamdulillah berjalan lancar. Hampir seluruh tahapannya dilaksanakan dengan daring. Berkas yang dikirim juga tanpa fisik. Semuanya discan, lalu diunggah ke website panitia. Peserta betul-betul tidak bertemu dengan panitia secara langsung. Jadi, potensi untuk terjadinya praktik pungli, gratifikasi beserta kawan-kawannya sangat terbatas. Sampai sejauh ini, kami berkesimpulan bahwa penerimaan CPNS tahun ini sangat bersih.
Berbagai macam persiapan mulai dilakukan. Karena kami berkeyakinan, bahwa keberhasilan sangat dekat bagi mereka yang mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Materi ujian dikumpulkan lalu didiskusikan. Soal-soal latihan CPNS dibedah. Beberapa kali melaksanakan simulasi menggunakan aplikasi berbasis android.
Tentu saja tidak semuanya berjalan mulus. Konsentrasi terbesar istri masih fokus mengurus anak kami yang masih kecil. Persiapan CPNS hanya menggunakan sisa-sisa waktu dan tenaga seadanya. Adakalanya, baru bisa mulai membuka materi saat malam telah larut, ketika Si Kecil sudah tertidur.
Setelah lulus seleksi administrasi, tahap selanjutnya adalah harus lulus
Seleksi Kompetensi Dasar (SKD). Materinya wawasan kebangsaan, intelejensi umum
dan karakteristik pribadi. Dalam wawasan kebangsaan, istri saya mulai mengkaji
materi-materi sejarah nasional, perundang-undangan, nasionalisme, bela negara,
bahasa Indonesia, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, nasionalisme dan UUD 45.
Adapun dalam intelejensi umum, ia latihan kemampuan verbal, numerik, figural
dan penalaran. Terkait kepribadian, ia mulai mengasah kemampuannya terkait pelayanan
publik, sosial budaya, teknologi informasi dan komunikasi, jejaring kerja, profesionalisme,
integritas diri dan semangat meraih prestasi. Pokoknya, lumayan melelahkan.
Selain akhir pekan, kami kerap diskusi jarak jauh dengan memanfa’atkan teknologi. Kadang menggunakan pesan instan. Sesekali video call. Dan seringnya melalui telepon.
Jadwal ujian tiba. Sayang, saya tidak bisa menemaninya langsung karena
bekerja. Entah mengapa, saya ikut panik. Bekerja tidak tenang. Sambil
memanjatkan berbagai macam do’a kepada Allah, saya terus memantau perkembangan
istri melalui WA. Hingga akhirnya, telepon genggam saya berbunyi. Lalu saya
angkat. Terdengar isakan diujung telepon sambil diikuti dengan ratapan yang
penuh penyesalan, “Yah…, saya tidak lulus ambang batas terendah. Sungguh menyesal
tidak persiapan dengan maksimal.”
Saat itu, saya langsung bergumam, “Oh, berarti Tuhan belum merestui istri saya bekerja. Mungkin ia harus fokus di rumah.” Entah terdengar, entah tidak oleh istri saya.
Harapan menjadi pegawai negeri pun sirna. Kami sepakat, istri akan ikut dengan saya dan fokus di rumah. Kalaupun harus bekerja, mungkin hanya berbisnis online.
Kondisinya berubah, saat beredar informasi bahwa peserta CAT 2018 banyak yang tidak lulus. Sehingga, pemerintah melahirkan kebijakan baru. Aduhai bahagianya, ternyata setelah kebijakan baru lahir, istri saya dinyatakan lulus SKD dan berhak mengikuti Seleksi Kompetensi Bidang (SKB).
Seperti orang yang dihidupkan kembali dari kematian. Istri saya betul-betul serius menghadapi tes tahap ini. Beberapa kali ia berkata pada saya, bahwa ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini.
Melihat semangat istri, tekad saya pun berlipat. Pokoknya, persiapan harus matang!
Dengan berbagai cara, saya terus menyemangati dan mendorong istri. Bahwa, segala sesuatunya harus disiapkan dengan baik. Menyusun target yang jelas. Mengatur dan menggunakan waktu dengan baik. Berdo’a dengan maksimal. Memastikan segalanya siap, baik fisik, mental maupun penguasaan kompetensi yang dibutuhkan. Kami berujar, “hanya keledai dungu, yang harus terperosok berkali-kali pada lubang yang sama.”
Saya beruntung, ternyata jadwal seleksi tahap ini dilaksanakan pada hari
Ahad. Jadi saya bisa menemaninya sampai lokasi.
Kami berangkat naik sepeda motor. Sudah sampai di lokasi sekitar dua jam sebelum jadwal sesinya. Sengaja hal ini kami lakukan, agar bisa menghadapi tes dengan nyaman. Tidak grasak-grusuk.
Saat tiba di ruang tunggu, saya menyaksikan wajah istri saya super tegang. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Saya menduga, harapan yang terlalu besar, membuat kepanikan melanda. Saya langsung ambil tindakan. Tangannya saya genggam, lalu mengajaknya berjalan menuju sebuah café. Sambil bercanda, saya bisikan di telinganya, “Keyakinan akan tumbuh, jika kita merasakan sudah layak jadi pemenang. Perasaan ini hadir, saat persiapan sudah dilakukan dengan matang. Dan kita telah melakukannya. Sekarang, kita nikmati prosesnya. Saatnya bersandar dengan penuh tawakal.”
Ah, sepertinya usaha saya gagal. Ia masih gugup. Wajahnya melukiskan banyak beban. Bahkan, sampai jadwal pelaksanaan ujian datang.
Ujian berlangsung sekitar sembilan puluh menit. Selama itu pula saya diliputi perasaan gugup. Lebih dari sedang melewati proses ujian sendiri. Untuk menenangkan diri, saya menjauh dari lokasi ujian yang disesaki banyak orang yang sedang berharap-harap cemas, menyaksikan nilai orang yang diantar melalui layar monitor. Saya menuju mushola. Mengambil air wudlu, lalu menghadap Sang Pencipta dengan penuh kepasrahan.
Waktu ujian telah habis. Banyak peserta yang sudah keluar dari ruang ujian, dengan beragam ekspresi. Saya tak terlalu hiraukan hal itu, karena ingin segera mendapatkan kepastian. Duh, adakah hal yang lebih menegangkan dari menunggu sebuah kepastian?
Sedang sibuk melamun, tiba-tiba istri datang dari belakang, sambil berkata, “Yah…, nilainya kecil. Jauh dari prediksi. Padahal, soalnya gampang. Semuanya sudah pernah kita diskusikan. Kita langsung pulang saja.”
Aduuh, saya harus terpukul untuk yang kedua kalinya. Lukanya lebih menyakitkan dari yang pertama. Tapi saya berusaha tegar, berusaha tampil sebagai laki-laki dewasa yang sedang menyiapkan sandaran untuk sang istri. Untuk kedua kalinya saya berkesimpulan, bahwa istri saya lebih baik fokus di rumah dan mencari jalan lain untuk mengabdi pada negara.
Tetapi, kejutan itu kembali hadir. Setelah merelakan semuanya, ternyata istri saya terpilih sebagai peserta yang dinyatakan lulus. Karena nilai kedua peserta lainnya, berada di bawah istri saya. Ya Tuhan, ini sungguh keajaiban. Alhamdulillah…
Dari kejadian ini, saya bisa belajar. Bahwa dalam konteks apapun, kita hanya harus menyusun niat dengan baik, berencana dengan matang dan berusaha dengan maksimal. Terkait hasil akhir, kita harus siap menerimanya dengan lapang. Bagaimanapun bentuknya.
"Yah..., kata ibu juga, biar saja nilainya rendah. Asal matih. He... he...” Begitu kata istri saya, sambil mencubit pinggang.
Sama pengalaman dengan saya Mas. Sempat dinyatakan gak lulus. Ternyata gak lulus masal sehingga buat peraturan kedua karena takut banyak formasi kosong. Alhamdulillah saya sama istri lulus
BalasHapusOh iya, selamat, Mas.
Hapuswaaa
BalasHapus