Banyak orang mulai meragukan sekolah. Posisinya yang diberi mandat penting, untuk melahirkan manusia paripurna, dipertanyakan ulang. Kebiasaan mayoritas masyarakat yang mempertaruhkan nasib generasi penerusnya melalui lembaga ini, patut dipikirkan ulang. Demikian, kesan yang saya rasakan saat membaca bagian awal buku “Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia” yang ditulis oleh Pak Haidar Bagir ini.
Kesan ini semakin menguat, tatkala penulis buku mengungkapkan beberapa kesalahan mendasar yang selama ini terus berjalan di dalam sekolah. Baik kesalahan konseptual, maupun praktikal. Mulai dari kerancuan tentang tujuan pendidikan, kesalahpahaman atas hakikat manusia sebagai subjek pendidikan, kekaburan tentang hakikat proses belajar, kemiskinan metode belajar mengajar, kekeliruan dalam penilaian dan berbagai hal lain yang disinyalir penulis sebagai kesalahan.
Berbeda dengan para pengritik terdahulu yang menawarkan alternatif-alternatif pengganti persekolahan. Seperti Ivan Illich, dengan gagasan Deschooling Society pada tahun 1970, yang ingin mengubah secara radikal paradigma persekolahan. Atau Susan Bauer pada tahun 2018, dengan Rethinking School-nya, yang hendak menawarkan belajar tanpa sekolah. Penulis buku ini, dengan berbagai gagasannya, meganggap bahwa sekolah dengan bentuknya yang sekarang, tak sepenuhnya bisa digantikan. Ia masih bisa diharapkan sebagai institusi pendidikan atas manusia, selama terus menerus kita mengritiknya.
Sebagai tokoh yang memiliki ketertarikan terhadap pendidikan, sekaligus bersentuhan langsung dengan dunia persekolahan sebagai praktisi yang mengelola beberapa lembaga pendidikan, kompetensi penulis sangat terasa dalam setiap gagasan yang ditawarkan. Tentu saja, setiap gagasan ini tidak akan lepas dari ruang perdebatan, tetapi paling tidak, apa yang ditawarkan buku ini bisa menjadi sumbangsih pemikiran yang penting, baik bagi para pendidik, orang tua, pemerhati maupun bagi para pengambil kebijakan, dalam rangka memperbaiki dunia persekolahan kita.
Buku yang diterbitkan oleh Mizan setebal 209 halaman ini, mengritik berbagai kesalahan yang selama ini terjadi di dunia persekolahan kita. Dari mulai tujuan, pendekatan, pemahaman tentang hakikat manusia dan potensinya, ihwal kecerdasan, kurikulum, metode, penilaian, praktik UN, sampai falsafah dan praktik pendidikan agama (dalam hal ini agama Islam). Kritik yang ditawarkan penulis, diimbangi dengan gagasan-gagasan solutifnya yang layak dipertimbangkan.
Berbagai persoalan pelik yang dihadapi dunia saat ini, muaranya ada pada kesalahan dalam dunia pendidikan, khususnya sekolah. Manusia yang serakah, korup, miskin kesalehan, etos kerja rendah dan berbagai kualitas buruk lainnya, diawali dari kegagalan dalam proses pendidikan yang dilakukan sekolah.
Bagi penulis buku ini, sekolah harus mampu menjadi tempat mendidik siswa agar dapat menjadi manusia-manusia yang merdeka, mampu memelihara atau bahkan mengembangkan spiritualitasnya, mampu mencapai kebahagiaan karena kemampuannya dalam menguasai diri, dan dalam kapasitasnya untuk memberikan kontribusi positif sebesar-besarnya bagi lingkungan tempat dia hidup. Sekolah, jangan sampai hanya mampu melahirkan manusia yang fokus memuaskan syahwat harta, kekuasaan, politik dan syahwat lainnya, seraya memojokkan dan menyingkirkan orang lain; manusia yang hanya memiliki kemampuan akademis berbasis teori dan hafalan, tanpa diimbangi kecakapan berpikir tingkat tinggi dan kekayaan spiritualitas. Sekolah, jangan direduksi hanya menjadi tempat untuk menyiapkan angkatan kerja yang kompetitif, apalagi hanya dijadikan alat politik.
Sekolah harus mampu menggali seluruh potensi para siswa, lalu dikembangkan dan diperlakukan sebagai manusia yang beragam. Tidak dipukul rata. Dalam konteks ini, pembelajaran dan penilaian yang menyamaratakan seluruh siswa tidak relevan. UN misalnya, menurut buku ini tak banyak manfa’atnya, kalau tak malah merugikan.
Terkait metode pembelajaran, penulis buku berpandangan bahwa pendidikan bukanlah proses penanaman atau pengisian, melainkan proses aktualisasi potensi siswa. Penulis tidak sepakat terhadap proses pendidikan yang disebut oleh Paulo Freire sebagai banking concept of education, yang didalamnya siswa dianggap sebagai celengan. Penulis buku menawarkan beberapa metode pembelajaran yang disebutnya sebagai pembelajaran autentik yang berorientasi pada kebutuhan riil siswa dalam kehidupan nyata, pembelajaran kontekstual serta pembelajaran berbasis proyek dan produk. Hal ini sejalan dengan apa yang sedang digencarkan pemerintah dalam kurikulum 2013, meski tak lepas dari kritik penulis karena masih berkutat dalam tataran konsep, belum sesuai dengan realisasi di lapangan.
Hal lain yang tak kalah penting adalah terkait pembelajaran agama di sekolah. Menurut penulis buku ini, pembelajaran agama diharapkan tidak terlalu fokus pada aspek kognitif. Tetapi harus mulai memberi ruang lebih pada aspek peningkatan kesadaran spiritual, penyempurnaan akhlak dan beramal saleh.
Akhirul kata, gagasan-gagasan penulis buku layak untuk direnungkan dan didiskusikan bersama. Eksistensi sekolah sebagai salah satu elemen penting dalam dunia pendidikan kita, harus terus dikritisi, dikaji dan diperbaiki. Setiap pihak yang berhubungan dengan sekolah, baik langsung maupun tidak, harus senantiasa berbenah dan berinovasi. Berbagai kekurangan harus disadari, lalu dilakukan perbaikan dengan penuh kesungguhan. Jika kualitas sekolah kita tak diperbaiki bersama, maka dampaknya terlalu mahal. Masa depan bangsa kita dipertaruhkan.
Wallahu a'lam
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?