1.
Pendahuluan
Setelah
mengikuti pembelajaran ini, peserta didik diharapkan mampu menjelaskan alur
perjalanan dakwah Islam di Nusantara dengan benar, menunjukkan cara-cara dakwah Islam di
Nusantara dengan benar, menyebutkan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dengan
benar dan mengambil hikmah kehadiran Islam di Nusantara dengan benar. Materi
ini disesuaikan dengan perkembangan peserta didik jenjang SMP Kelas IX,
kebutuhan mereka dan alokasi waktu dan sumber relevan yang tersedia.
2. Peta Konsep
Bisa juga disimak penjelasan video berikut:
Alur Perjalanan Dakwah Islam di Nusantara
Indonesia dikenal sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Padahal jika kita melihat sejarah lahirnya agama Islam yang dibawa para nabi, Indonesia tidak begitu dikenal. Namun, berkat kegigihan para dai dan ulama, perkembangan Islam di Nusantara begitu pesat sampai saat ini. Lalu, bagaimanakah alur perjalanan dakwah di Nusantara?
Sejak zaman
Prasejarah, penduduk Nusantara dikenal sebagai pelayar-pelayar tangguh yang sanggup mengarungi
samudra lepas. Menurut catatan sejarah, pada awal Masehi, sudah ada jalur
pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di
Asia Tenggara.
Wilayah
Nusantara yang menjadi lintasan penting perdagangan adalah wilayah Nusantara
bagian barat, yakni Malaka dan sekitarnya. Daerah tersebut sudah terkenal sejak
zaman dahulu karena kaya akan hasil
bumi. Daerah tersebut kemudian menjadi perlintasan para pedagang Cina dan India.
Sementara itu, pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang dari Lamuri (Aceh), Barus, Palembang, Sunda Kelapa, dan Gresik. Bersamaan dengan itu, datang pula para pedagang yang berasal dari Timur Tengah pada abad ke-7 Masehi (abad ke-1 Hijriyah). Malaka menjadi pusat utama lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam.
Teori-toeri Masuknya Islam Ke Nusantara
Ada beberapa teori yang mencoba mengungkap bagaimana masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, yaitu: teori Gujarat (India), teori Mekkah, teori Persia, dan teori China.
a. Teori Gujarat (India)
Teori ini menyatakan Islam datang ke Nusantara bukan langsung dari Arab melainkan melalui India pada abad ke-13. Dalam teori ini disebut lima tempat asal Islam di India yaitu Gujarat, Cambay, Malabar, Coromandel, dan Bengal (Hasbullah, 2001: 9).
Sebelum Islam sampai ke Indonesia, banyak orang Arab
bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India. Dari sana,
selanjutnya Islam menyebar ke Indonesia (Nusantara). Baru setelah itu,
datanglah orang-orang Arab yang melanjutkan Islamisasi di Indonesia.
Orang-orang ini menemukan kesempatan baik untuk menunjukkan keahlian
organisasinya sehingga mereka banyak yang bertindak selaku ulama, penguasa-penguasa
agama dan sultan yang sering bertindak sebagai penegak pembentukan negerinegeri
baru.
b.
Teori Mekkah
Menurut teori Mekah, proses masuknya Islam ke Indonesia adalah langsung dari Mekah atau Arab. Terjadi pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi. Para pedagang dari Timur Tengah memiliki misi dagang dan dakwah sekaligus. Bahkan, motivasi dakwah menjadi pen dorong utama mereka dating ke Nusantara. Orangorang Arab yang datang ini kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad saw. yang menggunakan gelar “sayid” atau “syarif” di depan namanya. Menurut para ahli sejarah, jalur perdagangan antara Indonesia Arab telah berlangsung jauh sebelum Masehi.
Teori arab merupakan salah satu teori yang biasa
dijelaskan dalam penulisan sejarah. Teori ini disebut juga dengan teori Timur
Tengah yang dipelopori oleh beberapa sejarawan, di antaranya adalah Crawfurd,
Keijzer, Naimann, de Hollander, dan juga ada beberapa sejarawan Indonesia
seperti Hasjmi, Al-Attas, Buya Hamka, Hoesein Djajadiningrat, dan Mukti Ali.
Penting diketahui, bahwa Coromandel dan Malabar,
menurut Arnold bukanlah satu-satunya tempat Islam dibawa ke Nusantara. Islam di
Indonesia juga dibawa oleh para pedagang dari Arab. Para pedagang Arab ini
terlibat aktif dalam penyebaran Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan
Barat-Timur sejak awal abad ke-7 dan ke- 8 M. Asumsi ini didasarkan pada
sumber-sumber China yang menyebutkan bahwa menjelang perempatan ketiga abad
ke-7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab Muslim di pesisir
barat Sumatera.
Bahkan, beberapa orang Arab ini telah melakukan
perkawinan campur dengan penduduk pribumi yang kemudian membentuk inti sebuah
komunitas Muslim yang para anggotanya telah memeluk agama Islam. Teori ini
semula dikemukakan oleh Crawfurd yang mengatakan bahwa Islam dikenalkan pada
masyarakat Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa
Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga merupakan faktor
penting.
Berdasarkan teori Arab dari Buya Hamka yang tertulis
dalam historiografi Indonesia, dijelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia sejak
abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi yang mendasarkan teori pada berita
China dari zaman Tang. Dalam catatan Tionghoa dijelaskan bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 M tepatnya di wilayah Sumatera dalam perkembangan
perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya dengan dukungan dari mubaligh dan
pedagang-pedagang muslim. Hamka memberikan argumentasi bahwa Gujarat hanya
sebagai tempat singgah, sedangkan Mekkah atau Mesir adalah sebagai tempat
pengambilan ajaran Islam. Adapun masuknya Islam ke Indonesia melalui dua jalur,
yaitu:
c.
Teori Persia
Selain teori India dan teori Arab, ada lagi teori
Persia. Teori Persia ini menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara ini
berasal dari Persia, bukan dari India dan Arab. Teori ini didasarkan pada
beberapa unsur kebudayaan Persia, khususnya Syi’ah yang ada dalam kebudayaan
Islam di Nusantara. Di antara pendukung teori ini adalah P.A. Hoesein
Djajadiningrat. Ini merupakan alasan pertama dari teori ini. Berdasarkan
analisis sosio-kultural, terdapat titik-titik kesamaan antara yang berlaku dan
berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan di Persia. Misalnya,
perayaan Tabut di beberapa tempat di Indonesia, dan berkembangnya ajaran Syekh
Siti Jenar, ada kesamaan dengan ajaran Sufi al-Hallaj dari Iran Persia. Dia
mendasarkan analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap beberapa ajaran
mistik Islam (sufisme) Indonesia. Ajaran manunggaling kawula gusti Syeikh Siti
Jenar merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-Hallaj dari Persia.
Alasan kedua, penggunaan istilah bahasa Persia dalam
sistem mengeja huruf Arab, terutama untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam
pengajaran Al-Qur’an. Jabar (Arab-fathah) untuk menghasilkan bunyi “a” (Arab;
kasrah) untuk menghasilkan bunyi “i” dan “e”; serta pes (Arab, dhammah) untuk
menghasilkan bunyi “u” atau “o”. Dengan demikian, pada awal pelajaran membaca
Al-Qur’an, para santri harus menghafal alifjabar “a”, alifjer “i” dan alif pes
“u”/”o”. Cara pengajaran seperti ini, pada masa sekarang masih dipraktekkan di
beberapa pesantren dan lembaga pengajian AlQur’an di pedalaman Banten. Juga,
huruf sin tanpa gigi merupakan pengaruh Persia yang membedakan dengan huruf sin
dari Arab yang bergigi.
Ketiga, peringatan Asyura atau 10 Muharram sebagai
salah satu hari yang diperingati oleh kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya Husain
bin Abi Thalib di Padang Karbala. Di Jawa dan juga di Aceh, peringatan ini
ditandai dengan pembuatan bubur Asyura. Di Minangkabau dan Aceh, bulan Muharram
disebut dengan bulan Hasan-Husain. Di Sumatera Tengah sebelah barat, ada
upacara Tabut, yaitu mengarak ‘keranda Husain’ untuk dilemparkan ke dalam
sungai atau perairan lainnya. Keranda tersebut disebut dengan Tabut yang berasal
dari bahasa Arab.
d.
Teori China
Sebenarnya, peranan orang China terhadap Islamisasi di
Indonesia perlu mendapat perhatian khusus. Banyaknya unsur kebudayaan China
dalam beberapa unsur kebudayaan Islam di Indonesia perlu mempertimbangkan peran
orang-orang China dalam Islamisasi di Nusantara, karenanya ”teori China” dalam
Islamisasi tidak bisa diabaikan. Dalam tulisan-tulisan Jawa klasik, disebutkan
bahwa tokoh-tokoh besar semacam Sunan Ampel (Raden Rahmat/ Bong Swi Hoo) dan
Raja Demak (Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturunan China.
Pandangan ini juga didukung oleh salah seorang sejarawan Indonesia, Slamet
Mulyana, dalam bukunya yang kontroversial, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan
Timbulnya negaranegara Islam di Nusantara. Denys Lombard juga telah
memperlihatkan besarnya pengaruh China dalam berbagai aspek kehidupan bangsa
Indonesia, seperti makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan. dan sebagainya.
Lombard mengulas semua ini dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya yang terdiri
dari tiga jilid.
Teori ini menjelaskan bahwa etnis Cina Muslim sangat
berperan dalam proses penyebaran agama Islam di Nusantara. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya pada teori Arab, hubungan Arab Muslim dan Cina sudah
terjadi pada Abad pertama Hijriah. Dengan demikian, Islam datang dari arah
barat ke Nusantara dan ke Cina bersamaan dalam satu jalur perdagangan. Islam
datang ke China di Canton (Guangzhou) pada masa pemerintahan Tai Tsung
(627-650) dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara di Sumatera pada masa kekuasaan
Sriwijaya, dan datang ke pulau Jawa tahun 674 M berdasarkan kedatangan utusan
raja Arab bernama Ta cheh/ Ta shi ke kerajaan Kalingga yang di perintah oleh
Ratu Sima.
Agama Islam berkembang di Indonesia disebarkan oleh
berbagai golongan, yakni para pedagang, mubalig, sufi, dan para wali. Para wali
menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa.
Di antara sekian banyak wali, yang terkenal adalah Wali Songo (Wali Sembilan). Berikut ini adalah uraian setiap Wali Songo.
1). Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi,
yang diduga berasal dari Persia dan berkedudukan di Gresik.
2). Sunan Ampel atau Raden Rahmat, berkedudukan di
Ampel, Surabaya.
3). Sunan Bonang atau Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Raden
Rahmat (Sunan Ampel). Ia tinggal di Bonang, dekat Tuban.
4). Sunan Giri atau Prabu Satmata atau Sultan Abdul
Fakih yang semula bernama Raden
Paku, berkedudukan di Bukit
Giri, dekat Gresik.
5). Sunan Drajat atau Syarifuddin, juga putra dari
Sunan Ampel dan berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya.
6). Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau
Syeikh Nurullah berasal dari Pasai, sebelah utara Aceh yang berkedudukan di
Gunung Jati, Cirebon.
7). Sunan Kudus atau
Ja’far Sodiq, putra dari Raden Usman Haji
yang bergelar Sunan Ngandung di Jipang Panolan, berkedudukan di Kudus.
8). Sunan Kalijaga, nama aslinya Raden Mas Syahid. Beliau adalah putra Tumenggung Wilatikta, Bupati
Tuban yang berkedudukan di Kadilangu, dekat
Demak.
9). Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra dari
Sunan Kalijaga berkedudukan di Gunung Muria, Kudus.
4.
Cara-Cara
Dakwah di Nusantara
Para da’i dan
mubalig menyebarkan Islam di Nusantara dengan cara-cara
sebagai berikut:
a. Perdagangan
Proses penyebaran
Islam melalui jalur perdagangan dilakukan oleh para pedagang muslim padaabad
ke-7 sampai abad ke-16 M. Para pedagang tersebut berasal dari
Arab, Persia, dan India. Jalur perdagangan saat itu
menghubungkan Asia Barat, Asia
Timur, dan Asia Tenggara.
Para pedagang muslim menggunakan kesempatan
itu untuk berdakwah menyebarkan agama Islam. Mereka memiliki akhlak mulia,
santun, dapat dipercaya dan jujur. Hal inilah yang menjadi daya tarik sehingga
banyak penduduk Nusantara secara sukarela masuk Islam. Banyak pedagang
muslim yang singgah dan bertempat tinggal di Indonesia. Sebagian ada
yang tinggal sementara ada pula yang menetap di Indonesia. Lambat laun tempat
tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan muslim.
b. Perkawinan
Sebagian
pedagang Islam tersebut ada yang menikah dengan wanita pribumi, terutama putri
bangsawan atau putri raja. Dari pernikahan itu, mereka mendapat keturunan.
Disebabkan pernikahan itulah, banyak keluarga bangsawan atau raja masuk Islam.
Sehingga para pedagang tersebut menetap dan membentuk perkampungan muslim yang
disebut Pekojan. Perkampungan Pekojan banyak dijumpai di beberapa kota di
Indonesia hingga saat ini.
c. Pendidikan
Para mubalig
mendirikan lembaga pendidikan Islam di beberapa wilayah Nusantara. Lembaga
pendidikan Islam ini berdiri sejak pertama kali Islam masuk di
Indonesia. Nama lembaga-lembaga pendidikan Islam itu berbeda di tiap daerah. Di Aceh misalnya,
lembaga-lembaga pendidikan Islam di sana dikenal dengan nama meunasah, dayah,
dan rangkang. Di Sumatra Barat,
dikenal adanya surau. Di
Kalimantan, dikenal dengan nama langgar.
Sementara, di Jawa, dikenal dengan pondok pesantren. Di sanalah, berlangsung
pembinaan, pendidikan dan kaderisasi bagi calon kiai dan ulama. Mereka tinggal
di pondok atau asrama dalam jangka waktu tertentu menurut tingkatan kelasnya.
Setelah menamatkan pendidikan pesantren, mereka kembali ke kampong masing-masing untuk menyebarkan Islam. Melalui cara inilah, Islam terus
berkembang menyebar ke daerah-daerah yang terpencil.
d. Hubungan
Sosial
Para mubalig
yang menyebarkan Islam di Nusantara pandai dalam menjalin hubungan sosial
dengan masyarakat. Mereka yang telah tinggal menetap di Nusantara aktif membaur
dengan masyarakat melalui kegiatan-kegiatan sosial. Sikap mereka santun, memiliki kebersihan
jasmani dan rohani, memiliki kepandaian yang tinggi, serta dermawan. Silaturahmi, bekerja sama,
gotong-royong mereka lakukan bersama penduduk Nusantara dengan tujuan menarik
simpati agar masuk Islam. Pada kesempatan tertentu, mereka menyampaikan ajaran
Islam dengan cara bijaksana, tidak memaksa dan merendahkan. Islam mengajarkan
persamaan hak dan derajat bagi semua manusia karena kemuliaan manusia tidak
ditentukan oleh kastanya melainkan karena ketakwaannya kepada Allah Swt. Islam
juga mengajarkan umatnya untuk saling membantu, yang kaya membantu yang miskin,
yang kuat membantu yang lemah dan saling meringankan beban orang lain. Dengan
demikian, ajaran Islam makin mudah diterima oleh penduduk Nusantara.
e. Kesenian
Sebelum Islam datang, kesenian
dan kebudayaan Hindu-Buddha telah
mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat. Kesenian tersebut
tidak dihilangkan tetapi justru digunakan sebagai sarana dakwah. Cabang-cabang seni yang dikembangkan para penyebar Islam di antaranya adalah seni bangunan, seni pahat dan ukir, seni
tari, seni musik dan seni sastra. Seni bangunan, misalnya masjid, mimbar, dan ukiran-ukirannya masih menunjukkan otif-motif seperti yang terdapat pada candi-candi Hindu atau Buddha.
Motif tersebut dapat dilihat pada Masjid
Agung Demak, Masjid Agung Kasepuhan di Cirebon, Masjid Agung Banten, dan Masjid Baiturrahman di Aceh. Demikian pula dengan pertunjukan wayang kulit. Mereka tidak
pernah meminta upah untuk menggelar pertunjukan, penonton atau pengunjung
gratis menyaksikan pertunjukan tersebut. Penonton hanya diminta agar
mengikutinya mengucapkan “Dua Kalimat Syahadat”. Hal ini berarti para penonton
telah masuk Islam. Sebagian besar cerita wayang kulit dikutip dari cerita Mahabharata dan Ramayana, namun sedikit demi sedikit dimasukkan
nilai-nilai ajaran Islam.
5.
Kerajaan-Kerajaan
Islam di Nusantara
a. Sejarah Kerajaan Islam di Indonesia
Nusantara
Kerajaan Islam
di Indonesia (Nusantara) dan Sejarahnya – Menurut berbagai sumber sejarah,
agama Islam masuk pertama kalinya ke nusantara sekitar abad ke 6 Masehi. Saat
kerajaan-kerajaan Islam masuk ke tanah air pada abad ke 13, berbagai kerajaan
Hindu Budha juga telah mengakhiri masa kejayaannya.
Semakin
berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sekitar abad ke 13 juga
didukung oleh faktor lalu lintas perdagangan laut nusantara saat itu. Banyak
pedagang-pedagang Islam dari berbagai penjuru dunia seperti dari Arab, Persia,
India hingga Tiongkok masuk ke nusantara.
Para
pedagang-pedagang Islam ini pun akhirnya berbaur dengan masyarakat Indonesia.
Semakin tersebarnya agama Islam di tanah air melalui perdagangan ini pun turut
membawa banyak perubahan dari sisi budaya hingga sisi pemerintahan nusantara
saat itu.
Munculnya
berbagai kerajaan-kerajaan bercorak Islam yang tersebar di nusantara menjadi pertanda
awal terjadinya perubahan sistem pemerintahan dan budaya di Indonesia.
Keterlibatan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia juga turut berperan dalam
tersebarnya agama Islam hingga ke seluruh penjuru tanah air.
b. Kerajaan Islam Pertama di Indonesia
Beberapa
kerajaan Islam tertua di tanah air yang menjadi bukti jejak peninggalan Islam
dan masih bisa disaksikan hingga hari ini di antaranya ialah Kerajaan Perlak
(840-1292), Kerajaan Ternate (1257), Kerajaan Samudera Pasai (1267-1521),
Kerajaan Gowa (1300-1945), Kesultanan Malaka (1405-1511), Kerajaan Islam
Cirebon (1430-1677), Kerajaan Demak 1478-1554), Kerajaan Islam Banten
(1526-1813), Kerajaan Pajang (1568-1586), dan Kerajaan Mataram Islam
(1588-1680).
c. Kerajaan Islam di Jawa
- Kerajaan
Demak
- Kerajaan
Banten
- Kesultanan
Cirebon
d. Kerajaan Islam di Maluku
- - Kerajaan Jailolo
- -
Kerajaan
Ternate
- -
Kerajaan
Tidore
- -
Kerajaan
Bacan
e. Kerajaan Islam di Sulawesi
-
Kesultanan Buton
-
Kesultanan
Banggai
-
Kerajaan
Gowa Tallo
-
Kerajaan
Bone
-
Kerajaan
Konawe
f. Kerajaan Islam di Nusa Tenggara Barat
& Timur
- Kesultanan Bima
- Kesultanan Sumbawa
- Kerajaan Dompu
g. Kerajaan Islam di Kalimantan
- Kerajaan Selimbau
- Kerajaan Mempawah
- Kerajaan Tanjungpura
- Kerajaan Landak
- Kerajaan Tayan
- Kesultanan Paser
6. Mengambil Hikmah dari Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara
Berikut beberapa hikmah yang bisa dipetik dari mempelajari Sejarah
Perkembangan Islam di Nusantara:
- Pedagang Islam dari luar Nusantara yang telah berdakwah menyiarkan ajaran Islam di bumi Nusantara memberikan nuansa baru bagi perkembangan kepercayaan yang sudah ada. Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berkembang dan tatanan kehidupan menjadi lebih baik.
- Karya para ulama berupa karangan buku-buku dan produk ilmiah lainnya sangat berharga untuk dijadikan sumber pengetahuan.
- Kesuksesan para penyebar agama Islam dalam berkarya dan membangun masyarakat Islam patut diteladani.
- Khazanah kebudayaan Islam di Nusantara dalam berbagai bentuk, seperti dalam bentuk (arsitektur) bangunan tempat ibadah, tempat ziarah semakin memperkaya budaya Nusantara.
- Mendakwahkan Islam harus dengan keramahan dan bijaksana serta membiasakan masyarakat Islam bersikap konsisten.
- Memanfaatkan peninggalan sejarah, baik berupa makam, masjid, dan peninggalan lainnya untuk dijadikan tempat ziarah (pembelajaran) demi mengingat perjuangan mereka.
- Seorang ulama atau ilmuwan dituntut oleh Islam untuk mempraktekkan tingkah laku yang penuh keteladanan sebagai ulama pendahulu di nusantara ini dalam mempertahankan harga diri serta tanah air dari penjajahan.
- Mengajarkan sikap tetap bersatu, rukun, dan bersama-sama mempertahankan negara Indonesia dari ancaman luar maupun dalam negeri.
- Menyadari bahwa perjalanan sejarah perlu dijadikan sebagai pemikiran dan peneladanan orang-orang yang beriman terutama keteladanan dan perjuangan para ulama untuk dipraktekkan oleh generasi mendatang dalam menentukan masa depan umat dan masyarakat.
Komentar
Posting Komentar
Apa yang Anda pikirkan?